Persepsi

15 01 2011

 

Pengakuan tentang kondisi terakhir menjelang perayaan kehidupan tahun ke-5 bersanding dengan kanker telah mengundang banyak reaksi khususnya dari teman-teman di komunitas kanker.

Dua tahun lebih  menyimpan rapat berita yang sebenarnya, hingga akhirnya kemantapan hati yang mendorong untuk memberikan informasi pada teman-teman untuk mengetahui dengan jujur. Jujur bahwa pengobatan kanker yang ditempuh melalui jalur medis konvensional boleh dikatakan gagal. Prognosisnya semakin memburuk dan harapan hidup pun tipis.  

Sebagian sms masuk berbunyi demikian “Bagaimanapun dokter jauh lebih tahu tentang terapi kanker.”

Ada lagi yang menambahkan  : “Jangan coba-coba  self healing, serahkan pada ahlinya saja! Kalo di getah bening buruan di radiasi saja.”

Tidak semuanya itu salah dan tidak juga sepenuhnya benar. Karena semua itu adalah reaksi spontan ungkapan kasih sayang dan perhatian. Semua ingin cepat dan segera melihat hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Diharapkan dan diharapkan serta diharapkan.

Bagaimana jika tidak ada harapan lagi?

Ketika tidak ada harapan lagi….diri ini justru lebih mudah menjalani hidup. Tidak berkejaran dengan waktu, tidak terburu-buru, tidak ingin apapun, tidak kecewa karena tidak berhasil dan gagal, tidak menunjuk pihak lain sebagai sumber kesalahan, tidak protes, tidak bertanya, tidak berasumsi dan tidak ini dan itu.

Cukup. Menerima dan bersyukur.

Berdiri di atas kegagalan tidak selalu mudah untuk dilihat, diterima, dijalani dan disyukuri. Dan banyak sekali manusia sekarang yang gagal berdiri di atas kegagalan. Tidak ada seorangpun yang ingin menderita, gagal, sedih, kecewa, miskin, apalagi sakit.

Banyak sekali referensi spiritual yang mengisahkan bagaimana orang-orang pilihan Tuhan diuji dengan sakit yang luar biasa. Sepanjang hidupnya, Nabi Ayub diuji dengan sakit di sekujur tubuhnya. Seorang nabi, manusia suci yang dijamin kehidupannya dalam agama yang saya anut begitu dekat dengan surga, diuji dengan penyakit di sekujur tubuhnya.

Diri ini memang bukan nabi atau orang suci, tapi keyakinan yang kuat bahwa setiap peristiwa kehidupan bisa menjadi cara untuk membersihkan diri.  

Sebagai ungkapan terima kasih yang tulus pada teman-teman di komunitas kanker khususnya CISC Jakarta, saya ingin menegaskan dan menyampaikan permohonan maaf bahwa diri ini sudah menentukan jalan sendiri untuk berjalan di jalur yang berbeda dengan pilihan teman-teman di komunitas kanker. Dengan segala konsekwensinya.

Mari kita memandang indahnya perbedaan dari dalam diri. Tidak memaksakan kehendak pihak lain dan tidak juga memaksakan kehendak sendiri. Tidak memberikan label atau persepsi apapun terhadap pilihan setiap orang lain serta tidak menghakiminya.

Kita cukup menyaksikan bersama pementasan “Aneka Ria Tarian Kehidupan”

Dan mari kita sadari bahwa tak ada pesta/pementasan yang tak berakhir.

Teman-teman meditasi sering mengingatkan “Jangan berpersepsi apalagi bikin sinetron sendiri. Perhatikan saja, lepaskan, lepaskan…..jasad ini bukan milik kita. Jangan posesif.”

Semoga semua hidup bahagia, amin.

Love,

Ani





Tahun Baru, Lembaran Baru

7 01 2011

Detik bertemu menit, berganti jam, berubah hari, berjalan menuju bulan dan berlalu menjadi pergantian tahun.

Semuanya datang dan pergi….

Begitupun dengan kebahagiaan dan kesedihan. Datang dan pergi seperti waktu yang terus berganti.

Bertahun-tahun menjalani hidup dengan kanker secara jujur harus diakui bahwa tidak selamanya rasa sakit, sedih, bingung dan lelah saja yang menemani sepanjang waktu. Rasa itu pun datang dan pergi. Ada kalanya berganti dengan tawa, canda dan bahagia.

Tidak hanya itu, segunung hikmah, ribuan ikatan tali persahabatan, uluran cinta dan kasih yang begitu besar selalu muncul di balik rasa tidak nyaman yang bergejolak. 

Sebagai bahan renungan untuk diri sendiri, bahwa berjalan dalam kehidupan yang silih berganti menumbuhkan kesadaran bahwa tubuh ini sudah sangat lelah mengejar kesembuhan.

Prognosis yang sangat buruk  selalu diteriakkan oleh berbagai penjuru dunia dengan hitungan prosentase harapan hidup yang tipis untuk penderita kanker payudara yang relapse di getah bening dan dicurigai sudah mengganggu paru-paru.

Tidak hanya itu, bujuk rayuan untuk mencoba ini dan itu pun terus berdatangan dan membanjiri panca indera. Diiringi dengan persepsi yang bersifat pembenaran subyektif.

Seorang Guru Spiritual selalu mengajarkan : “Tersenyumlah pada kebahagiaan dan penderitaan.”

Bertahun-tahun melawan rasa sakit, tidak hanya jasad yang menjadi semakin sakit, tetapi batin dan pikiran pun ikut sakit. Artinya, teori melawan rasa sakit yang selama ini dijalani tidak tepat, utamanya sangat tidak tepat untuk tubuh, pikiran dan batin ini.

Sakit tidak ada bedanya dengan sehat dan senang. Sakit pun layak disambut dengan senyum. Karena sakit juga tidak kekal. Datang dan pergi…

Vonis kematian yang dihitung secara matematika adalah guru spiritual batin ini. Jika batin ini masih menolak dan membenci prognosis yang buruk, artinya masih harus lebih banyak belajar membersihkan kotoran batin.

Di tahun baru… lembaran kertas baru yang masih putih bersih layaknya hanya di gores  dengan pena perdamaian. Berhenti melawan dan mengibarkan bendera persahabatan dengan rasa sakit dan penderitaan.  

Kebahagiaan dan penderitaan memiliki sifat yang sama. Tidak kekal.

Semoga Semua Hidup Bahagia, Amin.

PS : Terima kasih dari hati untuk Seorang Guru Spiritual (Pak Gede Prama)yang telah dipertemukan dengan diri ini oleh Sang Sutradara Kehidupan. Juga semua saudara dan sahabat di Brahma Vihara Arama, tak lupa Pak Ivan yang selalu support.





Renungan Akhir Tahun : Ada Atau Tiada Hari Esok

19 12 2010

 

Berkali-kali menerima vonis kanker dengan buntut panjang pengobatan terkadang membuat langkah kaki ini surut. Kekecewaan demi kekecewaan melewati hari demi hari yang terus berlalu. Menangis bukan dan tidak saatnya lagi karena hidup dan kehidupan yang berputar tidak terpisahkan dari dualisme (apapun : baik-benar, sehat-sakit dsb.) selama persepsi dan pembenaran mendominasi pikiran.

Lelah.

Tidak munafik, itu yang terasa dalam perjalanan menempuh kehidupan yang terseret jauh oleh harapan yang membumbung dalam pencarian keindahan dan kebahagiaan menurut pandangan mata yang nanar.

Sakit.

Itu yang selalu mengganggu ketenangan batin karena permainan rasa sangat mendominasi.

Apa yang menakutkan dari semua ini?

Kematian? Mungkin kematian memang menakutkan menurut persepsi diri yang tidak selalu benar.

Mengenal kematian lebih dekat adalah pelajaran indah tentang kehidupan yang sesungguhnya. Kematian adalah hak mutlak setiap hidup. Pertanyaan tentang kematian seringkali tidak di sertai dengan pertanyaan tentang kelahiran sebagai dualisme yang tak terpisahkan.

Siapa yang minta dilahirkan? Sebagai mahluk Tuhan paling sempurna? Sebagai wanita cantik yang memiliki pasangan setia dan keluarga bahagia? Sekaligus sebagai penderita kanker? 

Adakah yang salah dari semua itu?

Berjalan di atas rel kehidupan tidak sekedar mengejar mimpi akan hari esok. Hari ini, saat ini,apapun yang terjadi, apapun yang dilakukan dengan bertabur rasa syukur adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Ada atau tiada hari esok.

Always keep smiling…… 

Much Love,

Siti Aniroh.







Cukup Hari Ini

3 12 2010

Duduk di antara para pengungsi gejolak Merapi seringkali menjadikan hati ini membumi. Pelajaran tentang keikhlasan tanpa teks dan teori ataupun dalil-dalil suci terasa nyata. Lepas. Bersama mimpi-mimpi yang berterbangan. Hanya hari ini. Cukup hari ini.

Dalam kekosongan pandangan mata yang berisi ribuan makna, ada sedikit cerita yang terkuak. Selebihnya hanya tarikan dan hembusan nafas pelan…sungguh pelan….simbol kepasrahan dan totalitas kehambaan.

Ada rasa sakit yang menyayat hati

Ada air mata mengalir jernih

Ada luka dan darah

Ada nasi bungkus lengkap dengan lauknya

Berjuta rasa dan gejolak  jiwa tampak datar penuh makna

Ada….ada…..ada….ada….ada isi, ada kosong.

Isi adalah kosong, kosong adalah isi.

Apa sebenarnya yang ingin saya tuliskan?

Pelajaran kehidupan yang saya petik dari sebuah getaran alam dalam sekedip mata.

Hampir 2 (dua) tahun saya sekeluarga menetap di Yogya. Dan kami memilih di daerah atas. Seputaran Kaliurang. Selain udaranya yang masih bersih, alamnya pun indah. Masyarakat sekitar tak kalah ramah dalam pergaulan sehari-hari kami.

Dari kemesraan dengan alam berikut penduduk sekitar, sayap kami pun mengembang  ke sektor perkebunan kopi yang selama ini tumbuh dengan liar dan alih-alih mengasah ilmu sekaligus menyalurkan hobi dengan mengembangkan pertanian organik khususnya untuk sayuran.

Hari-demi hari kami lalui bersama warga sekitar Cangkringan, Ngancar dan Jetis Harjo. Tidak ada beda siapa saya dan siapa kamu. Tidak ada pangkat dan jabatan. Yang ada adalah tawa canda. Selebihnya mencangkul tanah, membuat bedeng, menyemai benih, membersihkan gulma dan rutinitas biasa kehidupan di ladang. 

Indahnya sebuah kesederhanaan.

Tidak ada persaingan, tidak ada korupsi, pun tidak ada polusi…

Secara sadar kami pun mengerti dan faham, bahwa saat-saat yang indah itu ada akhirnya…dan kami bersyukur semuanya berakhir dengan cara-cara yang indah.

Kini hampir seluruh rumah tinggal menjadi kenangan. Tapi hidup ini bukankah harus terus berjalan? Meratapi masa lalu hanya melibas rasa syukur bahwa hari ini masih bernafas. Iya…bernafas.

Artinya kami masih hidup.

Dengan kesadaran yang sesungguhnya, sebagian besar dari kami justru merasa terlahir kembali dengan peristiwa besar meletusnya Merapi.

Kesederhanaan mengajarkan kepada kami untuk selalu bersyukur dan cukup untuk hidup hari ini, apapun yang terjadi.

By Siti Aniroh





Tiada Datang & Tiada Pergi

14 11 2010

 

By Thich Nhat Hanh

 

Tubuh ini bukanlah aku

Aku tidaklah terjebak dalam tubuh ini

Aku hidup tanpa batas

Aku tak pernah dilahirkan dan tak pernah mati.

Tataplah samudera dan angkasa yang dipenuhi bintang gemintang,

sebagai manifestasi pikiran sejati nan menakjubkan.

Semenjak masa yang tanpa awal, aku senantiasa bebas.

Kelahiran dan kematian hanyalah pintu-pintu yang kita lalui

Ambang-ambang nan suci dalam perjalanan kita.

Kelahiran dan kematian laksana permainan petak umpet.

Marilah, tertawa bersamaku

Peganglah tanganku

Mari kita mengucapkan selamat tinggal

Ucapkan selamat tinggal untuk berjumpa lagi.

Kita berjumpa hari ini,

Kita akan berjumpa esok hari,

Kita berjumpa di tempat asalnya pada setiap waktu,

Kita berjumpa satu sama lain dalam semua bentuk kehidupan.

 

PS : Puisi ini saya persembahkan untuk semua sahabat dan saudara  di Pengungsian Stadion Meguwo, Pantirini Berbah dan juga di Klaten khususnya serta semua sudut Pengungsian yang tidak terjamah oleh tangan ini. Khususnya kelompok tani organik Dusun Ngancar, Dusun Cangkringan, Petani Kopi Dusun Petung, yang selama ini berinteraksi dengan keikhlasan dan penuh cinta damai bersama saya sekeluarga khususnya.





Kami Berduka

10 11 2010

 

Sebagian dari kami adalah penduduk asli Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya Kabupaten Sleman. Sebagian lainnya adalah warga pendatang seperti saya yang mencintai setiap sudut Yogya. Dari pantai, kota bahkan sampai ke gunung terlihat indah dari kacamata saya.

Pertemanan yang terjalin di kota kecil ini pun menyentuh hati saya. Mulai dari tukang parkir, mahasiswa, petani, peternak, tukang andong, tukang becak, buruh batik, membawa saya beserta hati ini membaur mesra.  Indah terjalin. Tanpa pamrih dan tidak ada tendensi politik apapun.

Udara pegunungan yang sejuk dan hamparan sawah serta aliran sungai yang bening tanpa polusi sungguh mengobati sesak nafas yang seringkali datang dan pergi.

Pilihan saya pindah ke Yogya bukanlah kesalahan.

Kini…gunung Merapi yang selama ini melengkapi indahnya pandangan mata kami sedang bergejolak menyapa. Banyak sekali persepsi yang berkembang  dari peristiwa itu. Ramalan dari para peramal yang merasa bisa  membaca kehendak Tuhan pun berkumandang memekakkan telinga.

Banyak manusia ingin menjadi tenar dari musibah yang menerpa kami. Berbicara tanpa dasar, menambah beban pikiran dan menyuburkan rasa takut kami terus menerus.

Sementara air mata kami belum kering.

Kaki ini masih pegel berlarian menghindari awan panas  dan hujan pasir.

Jantung ini masih berdegup kencang.

Nafas kami pun tersengal-sengal.

Mata kami juga mulai iritasi.

Antrian toilet hingga rebutan nasi bungkus di pengungsian belum terkoordinir dengan baik.

Anak-anak terpaksa liburan panjang dari kegiatan sekolah.

Ternak sapi dan kambing yang bertahun-tahun dibesarkan untuk dijual saat Idul Adha nanti pun telah dikurbankan pada wedus gembel.

Apa yang tersisa?

Jasad kami mungkin masih utuh. Tapi jiwa kami sudah tercabik. Oleh bencana dan kepentingan kelompok tertentu yang tak lagi punya nurani.

Apa yang kami lakukan ?

Berdiam diri mengharap belas kasihan di Pengungsian pastinya bukanlah pilihan kami. Kami tidak dilahirkan dan dibesarkan untuk berpangku tangan merenungi nasib. Saat bantuan pemerintah belum dan tidak sampai pada tangan kami, ikatan kuat di antara kami telah mampu mengantarkan banyak bantuan dari ribuan nama yang tak mungkin kami sebut satu per satu.

Terima kasih dari hati atas segala keikhlasan yang telah diberikan untuk kami dari banyak pihak beberapa pekan ini.





Tak Ada Yang…Abadi…

28 10 2010

 

Sore itu hujan begitu lebat, gemuruh petir bersahutan, dingin pun merayap menembus kulit tubuh ini. Meskipun jam dinding masih menunjukkan pukul 4 sore, tapi kawasan komplek perumahan kami yang berada di Jalan Kaliurang KM 13 rasanya sudah gelap gulita. Menutup jendela sekaligus gorden, menyalakan lampu dan ngumpet di bawah selimut tebal sangat membantu meredam sedikit rasa galau menyaksikan hujan yang demikian lebatnya.

Entah mengapa tiba-tiba ingin menelfon seorang teman sesama petani organik yang kabarnya baru pulang dari RS. Bethesda karena tensinya drop. Bicara di telefon pun teriak-teriakan karena mesti berpacu dengan suara hujan dan petir. Kami berdua asyik membicarakan bayam merah yang dapat tumbuh subur tanpa harus menyentuh plastik untuk mengurangi tadah hujan. Kami menggunakan metode daun salak buka tutup ha ha ha ha…

Tidak ada yang istimewa dari cerita itu. Tidak ada yang menarik untuk diangkat. Hujan pun reda…makan sup panas rasanya sungguh segar dan menghangatkan tubuh. 

Entah sengaja atau tidak, sebenarnya saya paling tidak suka mengubah handphone menjadi “silent”.

Usai shalat magrib, saya sedikit kaget dengan bunyi getar HP di meja makan. Saya pikir getaran apa???? Ternyata hampir 100 seratus nomor mengirim sms yang intinya “MERAPI MELETUS”

Sebagai mantan pendaki gunung, saya merasakan kedekatan yang begitu sakral antara Merapi dengan Mbah Marijan. Seorang juru kunci yang sosoknya sangat sederhana dan bersahaja. Jika sebagian orang mengatakan bahwa Mbah Maridjan adalah sosok yang keras, saya justru mengenalnya sebagai seorang yang memiliki karakter dan prinsip hidup yang kuat.

Menjelang malam, sirine ambulan semakin kencang meraung-raung di sepanjang Jl. Kaliurang. Bau gas alam pun mulai menusuk hidung. Beberapa tetangga menelfon untuk saling bertukar informasi. Kegelisahan merayap….

Beberapa teman di Petung (pengumpul kopi organik) sudah dievakuasi turun ke Pakem. Pak Dukuh di dusun Ngancar tempat kami menanam sayur organik pun tetap dapat kami hubungi dengan baik meski sinyal telefonnya byar pet karena listrik di sini juga byar pet.

Seketika itulah mendadak seisi rumah menjadi sibuk menjawab sms dan menjawab telefon. Ada berita yang menggembirakan, katanya Mbah Maridjan mau turun….dalam hati (Waahhh…ini serius apa guyon?) karena beliau adalah orang yang kokoh pendiriannya.

Rabu pagi, saya mendengar kabar dari teman relawan yang naik ke lereng Merapi…dengan terisak-isak mengatakan bahwa semalam Mbah Maridjan mau turun, tapi beliau ingin shalat dulu….dan saat shalat itulah beliau bermesraan dengan Tuhan untuk selamanya. “Ani, Mbah Maridjan ditemukan bersujud. Sujud shalat, bukan sujud tersungkur!” begitulah tangisan seorang kawan mengabarkan kondisi Mbah Maridjan yang waktu itu belum dipastikan bahwa itu adalah jasad beliau.

Selamat jalan Mbah Maridjan…usai sudah tugasmu menjaga Merapi….

Selamat bercinta dengan Yang Maha Kasih….Mbah Maridjan. Segunung pelajaran hidup yang kami dapat darimu, tentang kesederhanaan, tentang keteguhan hati, tentang tanggungjawab, tentang mencintai alam, tentang kebaikan budi, tentang tanpa pamrih, tentang berbagi…..

Tentang ketiadaan yang pernah kita perbincangkan, jasad, jabatan, harta…bahkan segalanya…tak ada yang abadi. Dalam sekejap mata luluh lantak, terbang…berdebu!





Hukum Kesehatan (untukmu?untukku?untuk siapa?)

22 10 2010

 

Pagi ini udara terasa sejuk, matahari pun bersinar cerah, secerah hati ini memetik kangkung dan daun singkong untuk lalapan dengan sepiring nasi hitam.

Seorang sahabat bertandang ke rumah. Ikut menikmati sarapan pagi yang sangat sederhana. Sambal bawang dan cabe rawit segar pun ikut menemani. Lezaattt.

Dari seputar makanan vegetarian yang kami nikmati, berkembang menjadi pembicaraan serius seputar masalah kesehatan. Lebih serius lagi, menyentuh hukum kesehatan. Ha ha ha…

Hukum kesehatan yang kita tahu tidak berkembang sepesat hukum bisnis. Believe or not? Kenyataannya seperti itu. So…believe or not, setelah kita sakit dengan penyakit serius yang berlabel mematikan justru menyurutkan langkah kita menegakkan hukum. Udahlah…udah sakit jangan bikin ribut dehhhh…jangan cari masalah! ha ha ha begitulah kira-kira.

Saya menulis di sini sebagai seorang penyintas kanker yang masih terus berjuang untuk hidup, sekaligus (mantan) Advokat, sekaligus orang yang kecewa dengan medis konvensional yang saya sebut dengan industri kesehatan (siapapun di dalamnya : dokter, rumah sakit, perawat, farmasi dsb.dsb dsb) dan juga orang yang kecewa dengan industri kesadaran.

Bersentuhan dengan kanker bagi saya pribadi sungguh menyakitkan (pada awalnya). Namun dalam perjalanannya saya memproklamirkan diri untuk bermain cantik dengan penyakit mematikan ini. Toh berdamai dan berdansa dengan kanker sekian lama tidak menyurutkan langkah saya dalam berkarya. Sekecil apapun karya itu.

Lantas, apa hubungannya dengan hukum kesehatan?

Dulu, awal-awal kekecewaan saya dengan sikap para dokter telah membakar semangat saya hingga menyala dan berkobar untuk menegakkan keadilan khususnya dalam hubungan saling (partnership) yang seimbang antara pasien dan dokter.

Kemudian, saya berjalan dalam kebingungan mencari teman senasib. Satu per satu organisasi yang mengatasnamakan pasien (kanker) pun saya datangi.

Lalu, saya kecewa lagi setelah tahu banyak tentang politik per-kanker-an yang telah menjadi lingkaran uang dan mendatangkan keuntungan…..dan sel kanker pun terus membelah dengan biadab di tubuh ini.

Selanjutnya, saya pun merenung panjang….berdiskusi dengan Tuhan, karena saya tak pernah menemukan jawabannya dalam perjumpaan dengan setiap insan yang saya kira senasib. Mereka tunduk dan taat pada industri kesehatan dan menyerahkan seluruh hartanya untuk membeli nyawa. Oooooh….saya terlalu bodoh dalam hal ini. Saya terlalu banyak memperdebatkan hubungan “saling dan seimbang” khususnya antara dokter / dukun(dukun juga praktek lho), sehingga saya terlena bahkan lupa untuk melangkah hingga tindakan medis, terlebih malapraktek dan pemerasan oleh industri kesadaran. Saya asyik makan sayur dan buah….bahkan menanami kebun tetangga untuk memenuhi kebutuhan akan sayuran. Ha ha ha ha ha

Saya bertanya pada Tuhan, begini : “Tuhan, saya lahir, besar dan membayar pajak di negeri ini. Engkau Maha Tahu Tuhan…bahwa negeri ini punya hukum kesehatan yang mentereng. Tapi hukum itu untuk siapa Tuhan?”

Tuhan pun menjawab dalam DIAM.

Dalam DIAM nya Tuhan, para setan pun membisiki telinga saya.

Begini…

“Hukum kesehatan yang tertuang dalam undang-undang dan peraturan lainnya memang sengaja dibuat agar para anggota dewan yang bertugas di bidang legislatif  itu ada kerjaan. Konon proyeknya gede lhoooo…membuat suatu aturan hukum.”

Setan tetangga juga bilang ke tetangga saya : “Hukum kesehatan itu untuk para dosen HAN (hukum Administrasi Negara) ha ha ha biar mereka juga dapat tambahan jam mengajar, kan lumayan…untuk kesejahteraan para dosen.”

Setan yang lewat depan rumah saya pun ikut komentar…..”Aaaah sudahlah. Namanya negara hukum ya dilengkapi dengan hukum kesehatan, biar penyelenggara negaranya sehat. Tapi kalau bisa hukumnya yang ruwet dan rumit biar rakyatnya nggak pada menggugat negeri ini. Apalagi yang sudah kena kanker, kalo perlu aturannya dibuat sedemikian rumit, umur penderitanya kan nggak cukup untuk ngurus perkara sampai ke Mahkamah Agung.”

Ooooooooo…..tapi Tuhan tetap DIAM.

By Siti Aniroh





Cerita Pada Suatu Malam….

15 10 2010

 

Duduk di teras belakang rumah, kami sesama penyintas kanker berbincang tentang banyak hal. Salah satunya adalah tentang memaknai hari-hari yang kami lewati bersama kanker.

Beberapa di antara kami adalah cancer survivor yang sudah melewati waktu 5 (lima) tahun, dan sebagian lainnya masih dalam pengobatan dan sebagian lagi masih ngalor-ngidul kebingungan mau diapain kanker di tubuhnya he he he…….

Sebagian perenungan kami yang menarik didiskusikan baik sesama penyintas kanker atau diri sendiri bertema “apa yang kau cari?”

Pertanyaan sederhana itupun mendapat banyak jawaban. Mulai dari obat kanker, kesembuhan, kesabaran, dll…

Lantas ???

Saya memang lebih banyak diam. Sebagai pendengar yang belajar menahan diri untuk tidak banyak bicara. Dan…mohon maaf jika ada beberapa cerita yang terlewat karena saya sedikit ngantuk.

Seorang sahabat dekat bertanya pada saya “Mana ceritamu? dari tadi kok membisu? Mentang-mentang segar bugar!”

Saya pun masih tersenyum, dalam hati berucap syukur berjuta makna bahwa apa yang saya alami, yang saya rasakan, yang saya keluhkan pada orang-orang yang begitu dekat di hati, ternyata benar adanya dihijab (ditutup) oleh Allah untuk sebagian yang lainnya.

Jadi? apa yang harus saya utarakan? Apa yang harus saya ceritakan?

Sejujurnya…pada malam itu…saat kami berkumpul bersama, luka yang menganga di salah satu bagian tubuh saya pun bicara melalui darah yang mengucur, cairan (yang saya anggap toxic) pun mengalir dan rasa sakit yang merayap pelan tapi pasti pun melintasi satu per satu tubuh ini.

Tapi….sekali lagi tapi…Bukankan semua itu juga nikmat? Nikmat yang sangat sempurna. Iya, nikmat SAKIT. Alhamdulillah…segala puji bagi Allah yang sangat pandai memberikan berjuta makna dalam satu cerita duduk bersama di teras belakang rumah pada suatu malam.

Iya. 7 (tujuh) orang berkumpul dengan tujuh cerita. Orang pertama, nangis terus karena belum dapat menerima vonis dokter . Orang ke-2 bicara Enema Kopi yang gak pernah sukses 15 menit. Orang ke-3 yang boseeeeen dengan Tamoxifen. Orang ke-4 yang ngomel dibohongin industri kesadaran. Orang ke-5 yang ginjalnya rusak dan mesti segera cuci darah (sakit kanker apa gagal ginjal?). Orang ke-6 bicara sayuran yang harganya di atas harga beras ha ha ha ha. Orang ke 7 (saya), nggak pengen apa-apa, pengen libur dari beban pikiran yang sekian lama memberati otak saya. Iya libur….nggak peduli apa kata dunia tentang kanker.

Dan…..liburan pun telah usai…..sekarang mulai nulis lagi….semoga!





The “TRIAD”

3 09 2010

 

Membaca judulnya seketika pikiran kita melayang ke sebuah nama group band yang diprakarsai oleh Ahmad Dhani. He he he…Kali ini hubungannya dengan penemuan seorang jenius bernama Dr. Max Gerson.

Sebenarnya saya terlalu cepat memuat sepenggal tulisan ini karena dalam angan-angan saya justru yang ada adalah bercerita secara detail tentang Gerson Terapi yang sudah memasuki tahun ke-2 ini saya jalani. Mengingat dalam perjalanan menulis saya beberapa kali mengalami flare-ups yang cukup berat dan terpaksa harus menenggak Triad, maka saya muat tulisan ini lebih dahulu.

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman pribadi (mungkin di Indonesia sangat jarang sekali yang menggunakan). Selain itu, saya share di blog ini juga karena paksaan seorang teman penyintas CA Mamae yang seringkali menggunakan morfin yang dosisnya terus ditingkatkan dari waktu ke waktu . 

Jujur….Saya sedih karena dia (maaf saya tidak dapat menyebutkan namanya di sini) kondisinya semakin hari semakin memburuk. Tapi saya sangat menghargai pilihannya untuk setiap saat dilarikan ke UGD atau ICU Rumah Sakit. Sebaliknya,  sejak 2008 saya sudah sangat malas sekali melenggangkan kaki ke Rumah Sakit untuk urusan berobat. Pokoknya malas. Malas ke dokter juga bagian dari pilihan hidup bukan? He he he

Saya memilih melakukan diet Vegetarian dan Gerson Terapi secara mandiri. Tidak ditangani oleh dokter ataupun rumah sakit. Di sekitar saya ada beberapa caregiver yang membantu saya untuk menempuh protokol penuh dan ketat untuk penanganan kanker.

TRIAD adalah kombinasi 3 tablet yang digunakan sebagai pain killer oleh para pengguna protokol  Gerson Terapi. Triad yang sangat efektif untuk beberapa kasus (tidak hanya kanker)  terdiri dari:

50 mg Niacin(Vit B3),1 gr Vit C, 500 mg Aspirin

Kombinasi ini dapat digunakan sampai dengan 5(lima) kali sehari setiap 4 jam. Tapi kalau saya cukup nenggak 4 (empat) kali terhitung sejak tahun lalu he he he itupun dipaksa minum dengan ancaman macem-macem ha ha ha

Sebagai catatan, umumnya sebelum menggunakan Triad, pengguna Gerson Terapi akan menambah 1-2 kali/porsi Enema Kopi dari protokol yang ditentukan (contohnya : Saya menggunakan 6 Enema Kopi dalam sehari, ketika terjadi flare-ups maka sebelum saya menggunakan Triad saya musti menambah Enema Kopi menjadi 7-8 kali per hari).

Untuk yang menganut aliran medis konvensional, tulisan saya ini tentunya tidak akan sesuai untuk anda. Terima kasih.

Semoga tulisan ini bermanfaat, amin.

By Siti Aniroh





Terima Kasih Tuhan

31 08 2010

 

1 September 2001 – 1 September 2010

9 tahun sudah

Engkau tautkan cinta kami dengan ikatan yang begitu kuat

Yang terangkum dalam derai tawa dan air mata.

 

Terima kasih Tuhan…

Kau hadiahkan kami mutiara hati  

Pelengkap kami meniti hari…melukis bahagia…menghapus lara…

 

Terima kasih Tuhan…

Kau sutradarai kami

Bersandiwara di atas panggung kehidupanMu

Menari seiring musik merdu yang Engkau dendangkan.

 

Terima kasih Tuhan…

Engkau buat belahan jiwa kami menyatu…

Menepis segala fitnah dan sumpah serapah.

 

Terima kasih Tuhan…

Atas pelajaran berserah dan menerima segala kehendakMu

Kami meyakini…yang Engkau berikan untuk kami

Itulah yang terindah di mataMu

Yang terbaik dalam pandanganMu.

 

Terima kasih Tuhan…





Hidup adalah…

26 08 2010

For each of us, eventually whether we’re ready or not, someday it will come to an end.

There will be no more sunrises, no minutes, hours, or days.

All the things you collected, whether treasured or forgotten will pass to someone else.

Your wealth, fame and temporal power will shrivel to irrelevance.

It will not matter what you owned or owed.

Your grudges, resentments, frustrations, and jealousies will finally disappear. So too, your hopes, ambitions, plans and to-do lists will expire. 

The wins and losses that once seemed so important will fade away.

It won’t matter where you came from or what side of the tracks you lived at the end. It won’t matter if you’re beautiful or brilliant. Even your gender and skin color will be irrelevant. 

So what will matter? How will the value of your days will be measured? 

What will matter is not what you’ve bought but what you’ve built, not what you got but what you gave. 

What will matter is not your success but your significance. What will matter is not what you’ve learned but what you’ve taught.

What will matter is every act of integrity, compassion, courage, and sacrifice that enriched and empowered or encouraged others to emulate your example.

What will matter is not your competence but your character.

What will matter is not how many people you knew but how many will feel a lasting loss when you’re gone. 

What will matter is not your memories but the memories that live with those who love you.

A life lived that matters is not of circumstance but of choice.

Sumber tulisan : http://www.encognitive.com/





Persahabatan Kami…

22 08 2010

 

Persahabatan sesama penyintas kanker terasa begitu dekat, begitu indah dan yang pasti perasaan senasiblah yang mengikat kuat persahabatan kami.  Tak jarang di antara kami belum pernah bertatap muka dan atau bertemu langsung. Namun siapa yang menyangka bahwa hati kami begitu dekat. Sms-an, kring-kring lewat telfon, email, bahkan kirim-kiriman paket pun terjadi dan terus berlangsung. Tidak hanya itu, jika di antara kami ada yang berpulang ke rumah Tuhan…air mata ini mengalir deras.

Kepergian seorang sahabat penyintas kanker pun bergulir….satu per satu…dan keluarga mereka pun menyatu menjadi bagian dari hubungan kedekatan kami yang telah terlibas maut.

Saat ini…saya menyadari beberapa sahabat yang selama ini kontak melalui dunia maya tapi begitu dekat di hati….sedang dalam kondisi yang tidak baik. Termasuk saya mengakui beberapa hari ini saya pun flare-ups cukup berat. Kami saling memompa semangat satu sama lain dengan harapan yang terkadang juga terhempas dan tersudutkan.

Bahkan….

Beberapa di antara kami sudah tidak ingin lagi menyentuh dunia medis, meski hanya sekedar tes laboratorium (termasuk saya).

Mengapa?

Kami sangat hafal bahwa perjalanan penyakit kanker yang sudah bertahun-tahun menyatu dalam ritme kehidupan kami sungguh telah mengajari kami bagaimana untuk tahu dan tidak tahu bahkan tidak mau tahu lagi apa yang terjadi pada diri ini. Kami saling mengingatkan dan menyadari akan hal itu.

Saya memberikan permakluman bahwa ada saatnya kami pun lelah…(jangan dibaca putus asa) 

Di sini…kali ini…saya ingin menyampaikan rasa yang begitu pahit harus saya telan, bahwa beberapa diantara kami sedang dalam kondisi yang sangat buruk. Dan saya sangat menghargai pilihan sahabat-sahabat saya para penyintas kanker yang memilih untuk berada di dekat keluarga dan orang-orang yang dicintainya, meski ada di antara kita yang mungkin akan dengan lantang mengatakan “…kondisi kritis kok didiemin saja!”

Itulah kami, itulah persahabatan kami….di antara kami ada benang merah yang sangat jelas dan nyata bahwa kami menghargai apapun pilihan pengobatan yang ditempuh dengan segala konsekwensinya. Termasuk kami menghargai para sahabat  penyintas kanker yang memutuskan untuk menerima saja apa adanya kanker yang menggerogoti tubuh.

Teriring do’a yang tulus dari hati di bulan Ramadhan yang penuh kasih dan cintaNya ini untuk beberapa sahabat penyintas kanker yang benar-benar dalam kondisi sulit. Semoga Tuhan senantiasa menghujani mukjizat bagi kita semua, amin.

Much luv,

Siti Aniroh





Kami Cinta Mati Padamu, Indonesia!!!

15 08 2010

 

Ketika…

Kanker menyapa tubuh ini….

Kami dihadapkan dengan ketusnya diagnosa dokter-dokter yang  kami datangi

Di negeri kami sendiri. Indonesia (ditambah embel-embel : Ahli Kanker di Indonesia terbatas jumlahnya….pasiennya sangat banyak).

Ketika…

Kami terpaksa terbang ke negeri orang…

Katanya kami tidak nasionalis dan sok kaya.

Ketika….

Kami menuliskan kegelisahan kami…..

Katanya yang nulis orang denial.

Ketika….

Kami bertanya mengapa obat sitostatika sangat mahal?

Katanya kanker kan tidak dapat disembuhkan, jadi yang nggak punya uang ya tunggu nasib saja!

Ketika….

Kami menemui orang yang puluhan tahun bertahan hidup dengan kanker meski tidak ke dokter

Katanya itu kebetulan saja.

Ketika….kami frustasi….

Kami ingin negeri ini buka mata dan telinga!!!

Kami….Keluarga kami…Tetangga kami…Orang tua kami….Nenek moyang kami….Guru kami…Bos kami…Ustadz kami…Biksu kami…. Pendeta kami…Tukang Sayur kami…Tukang becak kami…adalah Penyintas kanker.

Kami…..nafas kami tercekat seketika

Saat obat Hydrea untuk leukimia hilang dari pasaran…

Saat obat Ablasi tak kunjung datang….

Saat antrian Radiasi begitu panjang……dan terpaksa kami kehilangan teman-teman satu per satu….

Bahkan tak jarang kasus malapraktek pun ikut terkubur bersama jasad kami

Kami….menangis tanpa air mata lagi

Saat kesulitan kami dijadikan incaran para pedagang multilevel marketing.

Kami…..menelan ludah kecewa saat kami tersadar bahwa kami adalah mesin uang dari industri kesehatan, industri kesadaran, bahkan para dukun yang mengikat kepalanya dengan sorban.

Indonesia…..

Negeri yang kami cintai…….

Negeri nan indah dan elok….

Negeri di mana kami dilahirkan dan dikuburkan kelak…

Kami sakit, IYA

Tapi kami tidak bodoh (bukankah Indonesia telah sedikit berhasil mencerdaskan bangsa?)

Kami pun tidak menuntut lebih pada para Anggota Dewan yang terhormat sebagai wakil rakyat (dan wakil penyintas kanker…..tentunya)….

Hanya satu pinta kami….

Perlakukan kami sebagai subyek (penderita kanker yang memiliki sederet hak yang diatur dalam Undang-undang Kesehatan)

Bukan dan tidak sebagai obyek penderita sekaligus pesakitan yang menunggu ajal.

Apapun kondisi kami….

Kami cinta negeri ini, Indonesia!

Sungguh.

Cinta mati padamu, Indonesia!

Siti Aniroh.

PS : Puisi ini diikutkan dalam Gelar Puisi Aku Cinta Indonesia di http://abdulcholik.com/2010/08/01/gelar-puisi-aku-cinta-indonesia/





Ada Do’a Yang Menyertai…

9 08 2010

 

Menjalani kehidupan sekaligus bersentuhan dengan kanker tidak selamanya mampu menghindarkan diri dari kegelisahan. Kegelisahan yang seringkali mendesak kami para penyintas kanker untuk menemui ketakutan.

Berjalan dengan ketakutan adalah perjalanan yang menyakitkan dan membius kita pada keterpurukan dan keputusasaan.

Berbicara tentang bagaimana mengolah rasa dan menata hati…..banyak sekali industri kesadaran yang menyodorkan resep hidup damai. Mulai dari psikolog, ahli terapi ABCD, ahli meditasi ABCD, ustadz bahkan dukun pun bertindak mengambil porsi “kesempatan di balik kesempitan” kita (para Penyintas Kanker).

Tidak ada yang salah. Semuanya sah-sah saja. Karena kenyataannya tidak hanya sekali saya mengantar teman sesama Penyintas Kanker ke tempat ustadz (bayarnya 4-7 juta), ke dukun (bayarnya 500 ribu), ke psikolog (per satu  jam pertama 350 ribu), meditasi seminggu (1,2 juta), dan teman-teman happy aja tuh!? he he he

Jujur….saya juga tidak jarang menangis dan terkadang frustasi….dan….Alhamdulillah, saya di kelilingi orang-orang yang begitu tulus dan penuh cinta kasih. Mereka selalu mengingatkan saya bahwa dalam kondisi apa pun…saya tidak sendiri. Banyak do’a yang menyertai dalam perjalanan yang terkadang cukup melelahkan karena mesti melewati dinding yang terjal dan jurang yang curam saat bersentuhan dengan kanker.

Terima kasih untuk semua…..yang tak pernah bosan memompa semangat saya dan menyelipkan nama saya dalam rangkaian permohonannya pada Yang Maha Kuasa sehingga saya masih bertahan hingga saat ini.

Untuk kawan-kawan yang beragama islam/ muslim, saya dan keluarga mengucapkan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”

Much Luv,

Siti Aniroh

PS : Terima kasih dari hati :  Bu Irma, Pak Omri, Mr.Tan Kai Hock, Mama Yusna, Mba Devi, Mas Danang yang saya sertakan untuk ikut repot saat batin saya juga terpuruk.





Pelangi

27 07 2010

 

Di tengah rintik gerimis……..

Di bibir pantai yang syahdu

Diri sungguh kerdil

Akan hilang bersama angin….Terbang ……..

Pelangi,

Indahmu kunikmati ………….usai hujan reda

Melintasi cakrawala yang tiada batas.

Pelangi,

Garismu perlambang cinta

Menggetarkan hati,

Membesarkan jiwa yang luluh……lebur

Melintasi pencarian hakiki seorang hamba

Pelangi,

Warnamu menawan hati

Saat gulana menyelimuti

Engkau hadir dalam kanvasNya

Pesonamu tak terlukis tangan-tangan manusia.

Terima kasih Tuhan

Batinku terobati, karena kutahu

Engkau ada….

Engkau Indah….

Engkau membuatku takjub

Engkau begitu menyentuh

Engkau tiada terlukis dengan kata-kata

Engkau segalanya

Aku…….

Jatuh cinta pada Mu

PS : Saat kanker menyapa…ada banyak cerita pahit yang menggema di antara kami. Dalam perjalanannya….banyak cerita indah di balik semua itu. Seindah pelangi usai hujan reda…….

 By Siti Aniroh





Hari Anak Nasional : Terima Kasih Awan Kecilku…

23 07 2010

 

Dunia anak-anak adalah dunia yang penuh warna. Banyak kenangan masa kecil bersama orang tua dan kawan sepermainan yang kini masih membekas jelas dalam ingatan….manis, indah, penuh tawa, tanpa beban, berlari, menari, bahkan menangis. Sungguh tak terlupakan….

Menarik diri mundur selangkah. Waktu telah mengantarkan kita melewati masa kanak-kanak, dewasa, menikah dan memiliki anak. Sebagai orang tua, seorang ibu yang memiliki seorang anak lelaki luar biasa….tiap pagi saat melambaikan tangan mengantarkan Awan ke sekolah….sederet pertanyaan hanya cukup jawaban  dalam hati….

Apakah saya sudah memberinya kasih dan cinta sepenuh hati?

Apakah saya sudah mengajarkan berdo’a dan beribadah  dengan baik?

Apakah saya sudah mendidiknya dengan benar? Menunjukkan bagaimana bersikap jujur?

Apakah makanan yang saya berikan adalah makanan sehat, halal dan thoyib? (Diperoleh dari usaha yang halal? jauh dari penyedap,pengawet,pewarna? jauh dari sumber penyakit? bukan junkfood dan fastfood?dsb.dsb.dsb…)

Apakah saya tidak lupa mendo’akan dia?

Apakah saya pernah (lupa) membentaknya? Apakah saya telah meminta maaf padanya?

Apakah saya sudah mengajarkan memilih teman yang baik?

Apakah saya telah mengajarkan menghormati dan memaafkan orang lain?

Apakah…?  Apakah…? Apakah…?

Apakah saya tidak lupa bersyukur pada Allah SWT dengan karunia yang luar biasa melalui seorang lelaki kecil bernama Awan Cahya Aditya…yang lebih dari separuh umurnya melihat dan mendampingi saya berjuang hidup dengan kanker? Merelakan waktu bermainnya demi untuk menemani saya  flare-up? 

Hari ini….di Hari Anak Nasional…Terima kasih dari hati untuk anak lelaki yang luar biasa, Awan Cahya Aditya….engkau adalah hadiah Tuhan yang terindah…buah cinta ayah dan bunda…

Untuk anak-anak Indonesia, khususnya anak-anak penyintas kanker yang sedang berjuang dengan penyakitnya, anak-anak yang orang tuanya adalah penyintas kanker dan juga anak-anak yang telah ditinggalkan orang tuanya karena kanker….Selamat Hari Anak….kalian adalah anak-anak pilihan Tuhan…… 

Love u all…..(Siti Aniroh)





Tangan Emas

20 07 2010

 

Untuk kalangan perempuan (seperti saya he he he) pasti sangat bahagia jika mendapat hadiah dari kekasih hati. Terlebih hadiahnya itu “emas murni” ha ha ha (ketauan cewek matre).

Bicara tentang emas yang berkilauan, di kalangan penyintas kanker khususnya kanker payudara yang pernah melakoni tindakan mastektomi ada sebutan “tangan emas”. He he he….Karena saya mastektomi untuk payudara sebelah kiri, maka tangan kiri saya adalah tangan emas. Waduuuh….asyik dong punya tangan emas, kalo nggak punya uang bisa dijual ha ha ha ha ha…

Mengapa disebut tangan emas? Karena kami menjaganya ekstra hati-hati untuk menghindari pembengkakan (Limfedema). Dengan tetap berbaik sangka pada Tuhan, tangan yang bengkak dan mengeras tetap saya nilai positif.  Hadiah yang indah dari-Nya….

Pembengkakan sangat mungkin disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah:  

  1. Penekanan kanker pada saluran getah bening yang mengakibatkan terjadinya sumbatan.
  2. Efek samping dari terapi (operasi, kemoterapi dan atau radiasi) yang dilakukan pasien, yaitu rusaknya sistem limfatik.

Bagaimana Menghindari Pembengkakan ?

  1. Pasca operasi, pastikan luka sudah kering dan tidak ada cairan di sekitar luka operasi;
  2. Biasakan diri dengan disiplin untuk menggerakkan tangan dan memposisikan lengan lebih tinggi dari badan pada saat tidur atau berbaring (anda bisa memakai bantal di sebelah kanan/kiri kita);
  3. Berlatihlah setiap hari dengan perlahan dan bertahap untuk memastikan bahwa tangan kita tetap berfungsi normal;
  4. Tidak membawa beban berat seperti tas di bahu lengan payudara yang dioperasi;
  5. Jangan menggunakan porthese  yang terlalu besar/berat;
  6. Jika terpaksa anda harus melakukan pemeriksaan tekanan darah, jangan menggunakan lengan tersebut, termasuk juga tidak memasang jarum infus pada lengan tersebut;
  7. Jika tubuh sudah stabil, bermain trampoline sedikitnya 2 menit setiap sesi dan dilakukan 3 kali sehari untuk menghindari gangguan sistem limfatik tubuh kita.

Semoga informasi yang saya tulis dapat bermanfaat mengingat tangan emas ini dapat menjadi malapetaka jika tidak tertangani dengan baik.

Sekali lagi mengapa kami menyebutnya tangan emas? Karena limfedema sangat mungkin muncul kapan saja. Bisa jadi seketika pasca operasi, bisa jadi 3 tahun setelahnya (contohnya saya pribadi) he he he….bandel! Bahkan ada yang telah melewati 5 tahun…he he

By Siti Aniroh





Rindu

15 07 2010

 

Tuhan,

Saat malam adalah kegelapan

Yang beradu dengan keterpurukanku

Aku ingin…..

Bercumbu denganMU

 Bercinta intim denganMU

 

Di mana Engkau?

Orang bilang Engkau di atas Arsy

Orang bilang Engkau ada dimana-mana

Orang bilang Engkau GHAIB.

 

Aku….

Aku menangis dalam rinduku yang terpendam untukMU

Aku tahu ini penantian sesaat

Di stasiun ”sabar” ada jurusan ke rumahMU

Tak cukup itu saja,

Ada tiket ”amal” yang harus kubeli

Ada ”nafs” yang harus terkendali

Ada “istiqomah” untuk menepati ”janji”

Ada ”takhali” untuk menyucikan diri

 

Aku bersujud merendahkan tubuh dan hatiku

Untuk menjawab RINDUku padaMU

Untuk pertemuan rahasia

Pada saatnya nanti……………Saat aku tiada daya.

 

Siti Aniroh, April 2009





Kopiah ….oh Kopiah !

11 07 2010

 

Membuka koleksi foto masa kecil, ada gambar anak perempuan yang memakai kopiah kegedean. Itulah saya ha ha ha ha……, memakai kopiah bapak. Dulu, bapak hanya memakai kopiah jika shalat berjamaah di langgar (istilah mushola di kampung kami) atau pergi shalat Jum’at di Masjid. Paling mentok, jika kepepet banget kopiah bapak di pakai pergi kondangan dan melayat, he he he….

Mengapa? “Aku belum pergi haji, isin(malu) pake kupluk (kopiah)!Kupluk itu lambang kebaikan dan ketaatan!” Begitu yang dikatakan bapak jika ditanya mengapa beliau tidak memakai kopiah setiap saat.

Itu yang saya tahu sedikit tentang kopiah hitam yang di pakai bapak. Setelah beliau pulang menunaikan ibadah haji, kopiahnya tak lagi berwarna hitam dan hampir setiap hari dipakainya, tidak seperti kupluknya. Bapak setahu saya menjadi sangat pe-de dengan atribut kopiahnya itu he he he dan orang di kampung kami memanggilnya “Pak Haji…he he he”

Saya menuliskan ini, sebagai pengobat rindu pada bapak, yang ternyata telah lewat setahun berpulang kepadaNya.

Tidak hanya itu…berbincang tentang kopiah bapak, tiba-tiba mata saya terkesima dengan seorang peramal muda yang nongol di televisi dalam promosi menggiurkan “……..meramal masa depan, pacar,jodoh,rejeki….” Gile bener, peramal jaman sekarang pakainya kopiah he he he

Ingatan saya pun semakin jauh melayang, waktu nganter teman ke pengobatan alternatif, si pengobatnya yang pake kemenyan (alias mbah dukun-saya menyebutnya)pun memakai kopiah.

Tambah lagi…ustadz yang juga pengobat pakai kambing istimewa (alias harganya di atas 5 juta) juga pakai kopiah.

Terus….tukang hipnotis yang buka praktek di depan gang kampung kami, juga pakai kopiah.

Ada lagi, sopir Metro Mini 62 yang nyopirnya kayak orang kesetanan juga pakai kopiah.

Preman yang sekarang terorganisasi dengan baik, juga pakai kopiah…

Nah lho….Pak Menteri dan Pak Presiden juga pakai kopiah ha ha ha……

Bahkan tukang sapu jalanan juga pakai kopiah. Jangan salah, tukang copet di Blok M juga lhoo…

Kopiah menjadi atribut sejuta umat dengan sejuta makna di baliknya.

Sedikit mencatat, selama kopiah itu dipakai sebagai identitas yang positif dan membawa manfaat, rasanya cukup menentramkan hati, tapi….kenyataannya kopiah saat ini menjadi atribut kemunafikan yang memuakkan. Terutama untuk para pengobat yang menawarkan kesembuhan untuk kanker…please…tolong jangan berkedok kopiah untuk menipu kami penyintas kanker. Sebagian besar dari kami sudah demikian sulit menata hati untuk menjalani hari-hari yang sangat istimewa bersama kanker.

Tolong….janganlah dengan berkedok kopiah untuk memeras dan atau menipu kami penyintas kanker dengan janji-janji kesembuhan yang begitu mahal. Terima kasih dari hati…. 

By Siti Aniroh





Untuk Kawanku…(2)

8 07 2010

 

Biasa bersapa tanpa tatap muka,

Sekedar untuk berbincang konyol…

Mulai dari rasa sakit yang biasa hingga luar biasa

Mulai dari aspirin, valium bahkan suntik morfin

Layaknya pemakai narkoba…tahu persis berapa dosisnya menghindari OD

Bahkan meminjam istilah sodomi untuk enema kopi.

Itu nyata di antara kami. Teman senasib.

Kami…

Penyintas kanker yang tak mampu dan tak mau lagi berobat

Aku menangis, kau pun menangis.

Terkadang, bicara soal lintah, cicak, cacing bahkan belatung untuk obat kanker,

Tawa kita pun pecah. Tumpah ruah berjuta makna.

Aku frustasi, kau pun frustasi.

Kini….aku begitu rindu gurau-mu

Lagi-lagi…………Biasa mengikat hati tanpa kata,

Ku hanya mampu mengirim do’a

Masa kritismu segera berlalu…..

Maaf beribu maaf….aku tak mampu menggenggam tanganmu

Sekedar menguatkanmu

Sekedar meyakinkanmu semua akan baik-baik saja

Aku yakin kau tahu,

Hatiku memeluk hatimu, bersama malaikat yang mengamini do’amu, do’a kita……

By Siti Aniroh

PS : Puisi ini saya persembahkan untuk sahabatku penderita CA Mamae yang sedang kritis, “Siti Nuryani”. Saya meyakini Tuhan selalu memberi yang terbaik untuknya, untuk kami, untuk kita semua. Amin.





Cuci Otak

5 07 2010

Layaknya kendaraan yang diterpa angin, hujan dan panas, otak ini pun perlu dicuci jika sudah terlalu kotor ha ha ha. 

Kali ini saya ingin bercerita tentang seorang tetangga yang tergopoh-gopoh menawari dagangan (multilevel-nya/MLM) yang katanya menyembuhkan kanker. Katanya juga harganya di atas 5(lima) juta per botol kapsul/tabletnya. Wooow mahal betul ya!!! Beli kerupuk bisa satu truk itu ha ha ha. Mahal. Khususnya untuk seorang wanita yang tidak bekerja seperti saya.

Karena perbincangan itu terjadi tadi pagi bertepatan dengan jam (memasak) saya, maka tidak dapat dipungkiri lagi seorang pedagang MLM yang canggih dalam menawarkan barang dengan sangat halus dan sopan pasti akan masuk ke dapur. ”Please, join with us!” (dalam hatinya begitu) ha ha ha ha ha….

Dengan sangat yakin, jelas dan lantang dia bercerita bahwa saudaranya dan teman kuliahnya bla-bla-bla-bla sudah terbebas dari kanker payudara dalam waktu 6(enam) bulan konsumsi  suplement tersebut ha ha ha ha. Hebat benar ya! Tapi lama-lama dia sedikit bingung dengan sikap saya yang adem ayem dan tanpa komentar serta tidak terlalu tertarik dengan promosinya. He-he-he…6(enam) bulan sembuh gethooo lho! Saya dah masuk tahun ke-5 masih ngos-ngososan menghirup oksigen kehidupan ha ha ha ha….

Saya ingat pesan kolega saya (dulu waktu masih kerja ceritanya). Dia bilang begini, ”Menghadapi lawan bicara, siapa yang tenang, dia yang menang! Jangan emosi dan memotong pembicaraan lawan!” Jurus itu lumayan oke kali ini. Diam, senyum, cengar-cengir….ha ha ha bikin orang kheki di pagi hari ha ha ha…nakal !

Setelah cerita sedikit mereda, saya berbalik bertanya : ”Boleh saya bertemu saudara Mba? Atau teman Mba? Kapan saja waktu saya bebas dan selepas magrib saya jauh lebih santai!” Sambil memasang wajah bersahabat, saya lemparkan senyum manis.

Saya tatap matanya dan saya melihat rona wajahnya memerah. Bingung dan jelas pula jawaban aaa…iii…u… yang intinya dia akan mencarikan saudaranya dulu (emang ilang apa dicari?hik…)

Dengan bahasa yang santun dia pun mengalihkan pembicaraan. ”Bikin bubur ketan hitam Mba?” terlempar pertanyaan dari mulutnya karena di depan matanya melihat saya sedang mengaduk nasi hitam untuk sarapan Awan dan kompor sebelah sedang dalam proses membuat sup Hippo. Ikan Kembung pun siap saya bungkus dengan kemangi dilapis daun pisang untuk di kukus sebagai lauk sarapan Awan.

Dengan ringan saya jawab, ”Ini beras hitam biasa Mba, bukan ketan! Dan panci sebelah itu sup sehari-hariku, tanpa garam dan gula.” Trus dia nanya lagi ”Emangnya diet apaan Mba tanpa garam dan gula?” ha ha ha  saatnya ceramah saya tentang ABCD dengan sok pinternya ha ha ha dan dia pun terbengong-bengong.

Tidak hanya itu, dia sedikit syok ketika saya melakukan aksi porno dengan membuka kaos dan menunjukkan bekas luka mastektomi ha ha ha…di kalangan CISC, ini istilahnya WTS (wanita tanpa susu ha ha ha ha). WTS yang narsis ha ha ha kebanyakan narsis jadinya katro hik kikikik…

Seperti halnya teman-teman yang sudah sangat sering berhadapan dengan para sales  MLM, demikian juga dengan saya. Capeeee deeeeh!!!!

Mau menolak dengan cara apa? He he he Bagaimana menghindar dengan baik dan benar?

Mungkin dengan jurus ”Cuci Otak” yang intinya agar mereka tidak membodohi kita, agar mereka jujur bahwa mereka belum tentu mengerti banyak tentang kanker, agar mereka mau berempati pada kita, agar mereka tidak berpura-pura baik tapi ujungnya cuma mau maksain menjual dagangannya, agar mereka berpikir jika posisi mereka seperti kita, agar mereka tidak menjadikan kita obyek penderita.

Halal kok jadi sales MLM, dan mendapat pahala jika dilengkapi dengan niatan yang baik….

By Siti Aniroh





Festival Kehidupan

30 06 2010

 

Apa yang harus aku ratapi…

Ketika lahir, hidup dan matiku ada di seutas tali takdir

Dan tersimpan dalam peti rahasia.

 

Apa yang musti kutangisi…

Saat badai duka datang menerjang dan merampas segalanya!

Tapi tersisa satu jiwa dan setitik asa.

Siapa yang akan kucaci maki

Saat luapan amarahku membara berpacu dengan waktu

Tapi aku tak punya kambing hitam.

 

Aku manusia….

Punya rasa dan asa

Punya derita dan bahagia

Punya nafsu dan logika

Karena aku tercipta untuk itu

 

Terima kasih Tuhan….

Engkau Sutradara Maha Hebat

Syukurku akan kutebarkan penuh pesona

Dalam festival kehidupan yang penuh warna

Dengan luka dan cacat di tubuh yang memperindah lukisan hidupku

Kusambut sejuta tawa dan derai bahagia….. 

 

Siti Aniroh

24 Desember 2007

PS : Puisi ini saya tulis seusai kemoterapi ke 10, di mana kondisi fisik saat itu sangat drop. Dimuat di halaman pertama buku “Nobody Happy With Cancer, BE BRAVE & SMART”

 





Lukisan Tuhan Yang Indah

25 06 2010

 

Pernahkah kita menghitung nikmat yang diberikan Tuhan pada kita? Mulai dari nafas sebagai penanda hidup kita……? Saya meyakini hampir semua dari kita tidak ada yang mampu menghitungnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah untuk apa kita menghitung nikmatNya? Jawabannya adalah untuk membandingkan dengan seberapa banyak kita mengeluh atas pemberianNya.

Memasuki dunia kanker dalam kehidupan kita yang terus berjalan mau tidak mau menempatkan kita pada posisi yang berbeda. Mengapa? Dulu kita sehat, sekarang? Ada yang berbeda. Sedikit atau banyaknya perbedaan itu tergantung bagaimana kita menyikapi.

Setiap selesai mandi, saya menghadap ke cermin sebelum mengenakan pakaian lengkap. Sedikit dan pelan……terus menarik nafas panjang….terucap syukur pada Tuhan, meski payudara saya tinggal satu……kedua mata saya masih melihat, lubang hidung saya masih mencium….telinga saya masih mendengar, mulut saya masih berbicara, makan dan minum. Kedua tangan saya masih utuh…..kedua kaki saya masih tegak berjalan……

Apa yang harus saya keluhkan pada Tuhan?

Ternyata cerita saya di atas tidak cukup untuk menyemangati seorang teman seperjuangan saya yang kesulitan berjalan karena kakinya terserang ”sarcoma” dan memaksanya menggunakan tongkat. Sungguh menyedihkan ketika dia mengatakan pada saya ”Siapa yang melihat payudaramu jika kamu tidak bercerita? Sementara aku? Semua orang melihat cacat di tubuhku. Aku tidak bisa lagi berjalan apalagi bermain bola! Semua pandangan mata menatapku dengan iba. Aku malu Aniiiiii!” Teman saya histeris.

Lagi-lagi saya hanya bisa menarik nafas panjang…….dan melepaskannya pelan…sangat pelan. Saya menatap kedua matanya yang memerah menahan tangis dan marah. Saya memeluknya sangat erat……saya berbisik padanya ”Meski kamu tidak bisa jalan…….bukankah kamu masih bisa bernafas?” Dia melepaskan pelukan dan berkata lirih. ”Tapi aku malu dengan luka dan cacat di tubuhku Aniiiiiiiiiiiiii! Lihatlah!!! Aku cacat!!!!” Kami berdua menangis.

Saya masih menawar lagi ”Tapi kamu kan sudah pernah merasakan tubuh yang utuh dan normal?!  Bagaimana dengan mereka yang cacat sejak lahir?” Dia menimpali dengan suara yang sangat keras dan penuh kemarahan ”Itu urusan mereka, bukan urusanku!!!”

Saya kehabisan akal untuk merangkai kata-kata bijak. Fisik saya pun terasa lelah. Mengendarai mobil sendiri sekitar 30 km dari rumah kontrakan menuju ke Bantul sebenarnya pekerjaan yang biasa, tapi karena kali ini batin saya juga nelangsa, semua jadi terasa luar biasa. Ada sedikit rasa sesal di hati…mengapa saya begitu memaksakan diri menemuinya, padahal keluarganya sendiri sudah mengingatkan saya untuk siap-siap di tolak (bahkan dengan sikap kasarnya).

Batin ini pun mulai menghibur diri…ya sudahlah, dia masih denial. Saya yang mestinya maklum. Alhamdulillah saya memiliki ikatan dan toleransi yang begitu kuat dengan sesama Penyintas Kanker. Karena saya juga pernah merasakan galaunya hati menerima kanker di tubuh saya.

Tak sengaja tas kecil yang saya bawa terbuka resletingnya dan keluarlah buku kecil ”Hee Ah Lee The Four Fingerest Pianist” yang merupakan kisah nyata seorang pianis kelas dunia tanpa anggota tubuh yang lengkap tapi begitu pandai menunjukkan pada dunia kelebihan yang dimiliki di balik kekurangannya. Tanpa jari yang lengkap, dia sangat pandai memainkan piano. Saya tinggalkan buku itu untuknya karena saya tidak mau berlama-lama dengan kesedihan dan pesimisme yang dirasakannya.

Sungguh mengejutkan. Esok harinya dia menelfon ke handphone saya……berkali-kali! Saya masih belum ingin bicara dengan dia  (takut salah) karenanya tidak saya angkat. Ada puluhan sms darinya masuk, saya pun enggan membacanya.  Saya tidak ingin bersedih dengan kondisinya yang masih labil.

Terakhir (sebagai usahanya menghubungi saya)……dia mengirim email yang isinya begitu menyentuh…….

Ani, aku marah, kecewa dan sakit hati. Aku tidak tahu harus bagaimana mengekspresikan kekesalan yang ada. Aku merasakan Tuhan sangat tidak adil terhadap kehidupanku. Aku merasakan begitu hancur masa depanku. Aku tidak berarti untuk diriku sendiri, apalagi untuk orang lain. ITU KEMARIN.

SEKARANG, saat ini…….aku ingin mengatakan padamu, bahwa lukisan Tuhan begitu indah mewarnai hidupku. Please…….ajari aku berdiri dan berjalan serta berlari dengan kaki yang berbeda! Aku butuh teman berbagi yang mengerti, bukan yang mengejarku dengan obat-obatan yang merusak tubuhku, please…..aku tunggu kamu Ani! Aku mau belajar menutup mata dan telingaku dari ”apa kata orang”. Ani….please, Aku mau sepertimu….menemui orang senasib yang tak kamu kenal sekalipun. Aku mau belajar menerima….. Aku rela jika kamu mau memarahiku! Please, balaslah perlakuanku yang kasar kepadamu!”

Terima kasih Tuhan………….seorang teman memiliki setitik harapan. Ini yang terpenting dari semua aspek yang berperan dalam menghadapi hidup bersama kanker. Meski dalam perjalanan seringkali harapan itu timbul dan tenggelam. Menerima bahwa tubuh ini sekarang berbeda dan tetap mau bertahan untuk tidak lebih buruk lagi adalah satu poin yang sangat berperan. Pengobatan dan atau tindakan medis lainnya pelan tapi pasti akan dipelajari oleh seseorang untuk mempertahankan kualitas hidupnya.

Kita butuh waktu, butuh teman untuk berbagi…butuh (bukan wajib) berdo’a dan bersyukur. Ini semua saya dapatkan ketika saya bergabung di sebuah komunitas yang bernama Cancer Information & Support Center(CISC).

Masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengisi sisa hidup kita. Lukisan Tuhan tetap indah dan paling sempurna. Mari kita syukuri.

Siti Aniroh CISC-Yogya : 081289249434 (silahkan sms)





Semar

21 06 2010

 

Ada seorang sahabat bertanya ”Mengapa di rumahmu banyak gambar ataupun relief Punokawan?”

”Kami bertiga adalah pengagum tokoh Semar.” Itulah jawabannya.

Menurut Herjaka dalam tulisannya di situs www.jawapalace.org, Semar dalam bahasa Jawa disebut dempel = keteguhan jiwa. Rambut Semar berbentuk seperti kuncung yang bermakna akuning sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan yang mengejawantah untuk melayani manusia.

Dia tidak laki-laki dan bukan perempuan, tangan kanannya ke atas mempunyai makna bahwa sebagai pribadi tokoh Semar hendak mengatakan symbol Sang Maha Tunggal. Sedangkan tangan kirinya ke belakang mengandung makna berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol kemuliaan yang netral namun simpatik.

Penggambaran bentuk fisik Semar tidak mudah ditebak. Wajahnya adalah wajah laki-laki, tapi badannya seperti perempuan dengan perut dan dada besar. Rambutnya putih dan memiliki kerutan di wajah yang menandakan dia telah lanjut usia, tetapi potongan rambutnya kuncung sepeti anak-anak. Bibirnya tersenyum tetapi matanya selalu mengeluarkan air mata. Semar menggunakan kain sarung kawung seperti yang digunakan para abdi.

Penggambaran bentuk yang demikian menjadikan Semar sebagai sosok yang sarat misteri dan juga simbol kesempurnaan hidup. Tubuh Semar tersimpan karakter wanita, laki-laki, anak-anak, orang tua, ekspresi gembira dan sedih bercampur menjadi satu.

Semar selalu hadir dalam setiap lakon wayang dan kehadirannya sangat dinanti para penggemarnya. Meskipun dia seorang abdi,rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam namun dibalik wujud lahirnya tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi, mampu menyelesaikan masalah, sabar, dan bijaksana.

Apa hubungannya cerita tentang Semar ini dikaitkan dengan blog ini ? Blog yang saya buat untuk berbagi dengan teman-teman penyintas kanker khususnya?

Seperti yang telah saya kutipkan di atas tentang Semar. Saya bermimpi mampu bersikap seperti Semar dalam menyikapi hidup dengan kanker. Semoga. Amin.

Semar tidak pernah tunduk kepada siapapun kecuali kepada sang penguasa alam. Kaitannya dengan pengobatan kanker, saya berusaha meletakkan ketergantungan saya hanya pada Tuhan yang menentukan hidup dan mati saya. Saya tidak ingin berpusing-pusing ria dengan perkiraan umur yang seringkali terlontar dari sebagian kalangan khususnya medis.

Saya meyakini, teman-teman yang memiliki kualitas hidup yang sangat baik tidak semuanya menempuh pengobatan medis. Begitupun sebaliknya. Karenanya saya sangat menghargai apapun pilihan pengobatan yang diambil teman-teman dengan tetap berkeyakinan bahwa Tuhan Maha Penyembuh.

Dalam perang Semar tidak pernah membunuh, hanya membuat manusia sadar akan kesalahannya. Saya pun pernah melakukan kesalahan di masa lalu yang mungkin memberikan andil berkembangnya sel kanker dalam tubuh saya. Musuh terbesar diri saya adalah nafsu. Saya berusaha untuk berdamai dengan diri sendiri. Berusaha untuk tidak menyalahkan siapapun sebagai kambing hitam dalam hal pengobatan yang saya jalani. 

Semar bersenjatakan kentut yang bisa membuat orang pingsan dan menyadari tingkah lakunya. Kalau untuk yang ini….insya Allah saya tetap akan enema kopi meski banyak yang kontra dengan pilihan saya he he he.

Semar adalah bayangan kehidupan yang benar-benar samar. Semar selalu tertawa dalam kondisi apapun. Saya dan keluarga mencoba menanamkan sikap “Hidup dengan kanker, so what gitu lho he he he…” Saya ingin selalu menjawab sms/telpon/email teman-teman, meski tidak selamanya kondisi saya fit betul. Bahkan saat flare up berat dan tak bisa buka mata, kadang-kadang sms yang sedikit menyadarkan saya pun saya terima (misal : “Gak niat di sms, nggak usah pasang nomor telpon dimana-mana” hi hi hi ) karena keterbatasan saya tidak mampu melayani dengan baik.

Anda silahkan tertawa dengan apa yang saya tuliskan. Saya pun tertawa ha ha ha…. dan saya terus bermimpi….dan berusaha mewujudkan mimpi saya hidup dengan sikap Semar yang bijak, meski kanker menyapa tubuh ini. Meski industri kesehatan terus mengeruk keuntungan dari slogan “Kanker penyakit mematikan!” Meski industri kesadaran turut jualan training “Berdamai dengan diri sendiri!” Meski teman-teman di komunitas datang dan pergi silih berganti. Meski….meski….meski….meski…hidup dengan kanker, tetap ada keindahan di balik semua itu….seperti Semar yang SAMAR.

By Siti Aniroh





Cintamu & Cintaku

16 06 2010

 

Dipertemukan dalam satu ruang 

Tatapan matamu menggetarkanku 

Menembus relung hati 

Meyakinkanku melangkah jauh bersamamu. 

Dipersatukan dalam misteri kehidupan

Kau ikat kuat segala rasamu dan rasaku.

Dalam rengkuhanmu…… kurebahkan tubuh ini 

Sungguh aku tak berdaya…..

Nanah menetes…darah mengalir…nafas nyaris terputus.

Tidak hanya aku, kau pun mencari beribu cara menyambung nyawa

Hingga tak ada pilihan lagi. 

Di ujung lelah…..aku menerima, kau pun menerima 

Dengan kekuatan iman

Lirih di telingaku kau bisikkan do’a suci

Kau titikkan air mata kepasrahan 

Kau tularkan keyakinan setinggi langit 

Kau tiupkan nafas cintamu yang begitu tulus 

Kau yakinkan aku……cintamu dan cintaku tak kan pernah usang.

By Siti Aniroh (special for Iwan Setiyawan)





Mereka Peduli

13 06 2010

 

 “Ani, hidup tidak untuk berkejaran dengan waktu!”

Suara itu sedikit serak tapi tegas dan keras. Dan saya mendapatinya pada saat industri kesehatan  mengatakan pada saya bahwa hasil pengobatan tidak maksimal tanpa obat yang bernama Herceptin. Pada saat itu juga creatinine dan SGOT SGPT saya angkanya fantastis. 

Kenyataan hidup dengan penyakit yang berlabel “liang lahat” memang seringkali harus berhadapan dengan sesuatu yang membuat nyali ciut, selain menguras harta dan menggembosi akal sehat.

Iya, itu saya alami. Penderita CA Mamae dengan HER2 (+3) kata industri kesehatan percuma diobati tanpa melibatkan Herceptin yang harganya selangit. Mau tahu? Waktu itu harga HERCEPTIN dengan isi 440 mg harganya adalah Rp. 17.892.000,- (Tujuh belas juta delapan ratus sembilan puluh dua ribu rupiah). Belum obat oplosannya ha ha ha…. dan kita nggak cukup sekali pakai lho…

(Sebagai catatan, beberapa yang saya kenal dan menggunakan Herceptin, kualitas hidupnya tidak lebih baik dari saya)

Dan saya dengan lantang berteriak bahwa saya tidak sanggup memakai Herceptin. Di GRATIS in sekalipun. Dan dengan pelan tapi pasti saya memilih berpaling dari industri kesehatan. Fisik dan financial saya tidak lagi sanggup membayar obat-obatan yang juga bersifat toxic (tidak hanya meracuni sel kanker tapi juga sel sehat di tubuh)

Frustasi? Iya.

Saya memilih kembali melanjutkan hidup dengan diet ketat GERSON TERAPI yang saya jalani hingga saat ini. Dan kualitas hidup saya jelas lebih baik.  

Apakah ini menyembuhkan?

Saya tidak tergolek di ranjang rumah sakit, artinya saya sembuh. (semoga kalimat ini cukup mewakili)

Dan suara yang serak tetapi tegas tadi adalah orang yang selama ini membantu saya dengan hati, sungguh dengan hati. Membantu saya belajar banyak dan mendalam tentang Gerson Terapi berikut terapi nutrisi dan yang lainnya.

Siapa dia? Omri Samosir. Saya, kami sekeluarga memanggilnya Pakde Omri. Seorang caregiver sejati. Tak jarang kami berdiskusi, berdebat dan mempertahankan pendapat masing-masing dengan argumen yang kadang-kadang tidak masuk akal sekalipun.

Yang jelas, tidak ada kemarahan dan sakit hati apalagi dendam setelahnya.

Kami bukan dan tidak berlatar belakang pendidikan medis. Kami sama-sama belajar dari pengalaman pribadi dan orang-orang terdekat yang mati konyol dan mengenaskan oleh sebuah penyakit mematikan bernama kanker.

Apa yang ingin saya tuliskan di sini sebenarnya?

Saya ingin mengabarkan, bahwa di luar dokter, rumah sakit, perawat dan kawan-kawannya ada kelompok-kelompok yang sangat peduli dengan kesehatan. Dan kita boleh bertanya, berdiskusi dan menyangkal sekalipun dengan gratis. Dan lagi, mereka tidak berjualan apapun.

Mengapa ini penting?

Memang “mereka yang peduli” pastinya akan merujuk kita untuk ke dokter atau apalah, tapi dengan pengalaman dan kepedulian mereka, mereka akan membantu kita bagaimana menjadi berani dan pintar dalam menghadapi industri kesehatan. Mengapa ? Karena mereka peduli. Mereka bekerja dengan hati dan meyakini Tuhan mengiringi setiap langkahnya.

Terima kasih dari hati Pakde Omri….

PS. Tulisan ini saya persembahkan untuk Pakde Omri. Happy Birthday Pakde……….





You Are Not Alone

7 06 2010

 

Sebuah perbincangan ringan terjadi pada saat saya mengantarkan Awan les piano di sebuah sekolah musik. Sederhana sekali. Saya duduk di ruang tunggu dan berbincang dengan teman yang dia juga orang tua murid yang sama-sama sedang menunggu anak.

”Awan punya adik?” begitu pertanyaannya.

Saya jawab ”Belum”.

”Kenapa? Kasihan lho Jeng kalo sendirian….udah besar lho!”

Saya jawab lagi ”Saya belum boleh hamil dulu sama dokter saya”

Perbincangan itu pun terus berlanjut ”Apa sebabnya?”               

”Kanker Ibu….”

”Ya Ampunnnn….tapi kok sehat sih !!! (ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa dia sangat terkejut).

Saya tambah narsis, ”Saya masih nyetir sendiri, meskipun kalau terpaksa angkat hand rem tangan kanan saya ikut serta.”

”Emang kenapa Jeng dengan tangan kirinya?”

Saya mengusapkan telapak tangan kanan saya ke dada bagian kiri sambil berkata ”Payudara saya sebelah kiri sudah di angkat!”

Sempat terdiam sesaat. Menelan ludah yang sepertinya sangat getir. Dia pun melanjutkan permbicaraannya, ”Ada sepupu saya belum lama ini meninggal. Padahal baru sebulan dia divonis kanker. Stadiumnya juga masih awal. Dia selalu merasa bahwa hidupnya memang akan segera berakhir. Merasa dirinya bergelimang dosa. Bahkan dia berpikir bahwa kanker adalah kutukan Tuhan untuknya. Dia stress berat ketika dia tahu dirinya mengidap kanker. Menutup diri dan bahkan sering kali mengunci diri di kamar. Jangankan berobat, makan pun dia tidak mau dan seringkali marah serta histeris. Ini salah, itu salah. Perangainya berubah. Saya sangat sedih melihatnya, tapi sulit sekali untuk komunikasi dengannya. Sungguh berbeda dengan Jeng Ani…..aduh maaf ya Jeng aku nyerocos aja dari tadi. Saya surprise banget melihat penderita kanker kok sehat begini……saya do’akan Jeng Ani tetap sehat…..aminnnn ”

 Aduh….panjangnya! Pikir saya waktu itu.

Cerita di atas nyata dan ada di sekitar kita. Mungkin masih banyak cerita-cerita lain yang serupa dengan itu. Saya hanya ingin menarik garis sedikit.

Betapa mengerikannya kanker (bagi sebagian orang).

Betapa jahatnya penyakit ini (bagi sebagian orang juga).

Vonis yang baru saja di dengar oleh seseorang bahwa dirinya mengidap kanker ternyata sudah mampu membunuh jiwa dan raganya.

Bukankah sebenarnya jiwa kita tak pernah mati? 

Tidak mudah menerima kehadiran tamu istimewa bernama kanker, terlebih jika kita tidak tahu bahwa di sekitar kita ada banyak penderita kanker yang ternyata masih hidup normal dan sangat mungkin kualitas hidupnya lebih baik.

Kanker (bagi sebagian orang) adalah lagu kematian yang diiringi hujan air mata duka dan nestapa.

Bersyukur saya bertemu dengan teman-teman yang tidak berkubang dalam keterpurukan. Saya tidak sendiri.

Mereka masih tetap berkarya…..

Mereka berprestasi melebihi sebelum mereka menerima vonis kanker….

Mereka sangat peduli sesama….

Di sinilah ”komunitas kanker” dibutuhkan. Jalinan indah sesama penyintas kanker. Tidak membatasi apa jenis kanker yang menggerogoti tubuh. Tidak juga membatasi media apa yang digunakan untuk berkomunikasi sesama (tatap muka, sms, telfon, email, blog, face book, radio, televisi dsb)

Kami saling bertukar cerita dan berbagi tips tentang strategi bergelut dengan kanker. Tidak hanya ada penderita satu jenis kanker, tetapi juga berbagai macam jenis kanker mulai dari payudara, retinablastoma, colon, ovarium, otak, getah bening, sarcoma, leukemia, serviks dan banyak yang lainnya.

Sebagian dari kami adalah ‘survivor” dan sebagian lainnya adalah penderita yang masih dalam proses menjalani pengobatan konvensional / alternatif beserta keluarganya yang mendampingi dan juga para relawan yang bergabung.

Dan yang lebih menarik lagi, kami tidak hanya berbincang-bincang soal kanker, tapi kami juga menyanyi, karaoke, rekreasi, berdiskusi tentang banyak hal dan juga mendengarkan ceramah dari banyak sumber serta berbagi beban persoalan pribadi bahkan sampai dengan resep masakan untuk diet. 

Di dalam sebuah komunitas, jelas terlihat bahwa kita tidak sendiri menderita kanker. Anda tidak sendiri. Saya pun tidak sendiri.

Informasi yang mengalir dan saya terima membuat saya semakin kuat mengibarkan bendera perdamaian dengan kanker. Sekali lagi, saya tidak sendiri.

Rasa syukur yang luar biasa bahwa dengan mengikatkan diri dalam sebuah komunitas saya menemukan banyak pelajaran berharga yang tidak dapat diperoleh di sekolah mana pun. Sesekali rasa perihatin dan sedih timbul tenggelam dalam diri saya ketika mendengarkan teman  yang kondisinya memburuk atau lebih parah dari saya. Tapi lama-kelamaan saya menjadi terbiasa dengan kondisi tersebut dan berubah menjadi amunisi yang cukup canggih bahwa saya lebih baik, berarti prosentase untuk bertahan dengan kualitas hidup yang lebih baik pun lebih besar.

Tidak ada alasan untuk mengurung atau menutup diri. Karena berbicara dan diskusi banyak hal dengan orang yang mengalami langsung lebih memudahkan kita berdamai dengan diri sendiri.

Ulurkan tangan, anda akan semakin kuat dan tangan anda pun akan menguatkan orang lain.

You’re not alone.

(Tulisan ini pernah dimuat di blog.rumahkanker namun beberapa kalimat sudah saya revisi)





Aku Berbeda…

4 06 2010

 

Saat bangun tidur, aku langsung minum segelas perasan jeruk murni.

Ketika teman-temanku makan catering sekolah,aku lebih suka nasi hitam dan lauk masakan rumah yang dibawakan bunda.

Ketika teman-temanku minum teh botol dan sofdrink, aku lebih suka jus buah segar yang dibikin bunda.

Ketika teman-temanku makan nugget, aku memilih bakso ikan tengiri special buatan bunda. (Kalo direbus jadi bakso, digoreng jadi mpek-mpek, dikukus jadi siomay, hebat kan?)

Ketika teman-teman merayakan ulang tahun di restoran junkfood, aku dibuatkan tumpeng dan membagikan nasi kotak di panti asuhan.

Aku tahu…banyak yang mencibir dan mengejekku.

Tapi aku bangga lho… Aku diajarkan menyikat gigiku menjadi putih dan sangat bersih dengan serpihan arang bakar (nggak perlu ke dokter gigi).

Ketika sakit, aku jarang ke dokter atau rumah sakit, karena bundaku sangat pandai membuat makanan sehat dan memijat punggungku dengan minyak kayu putih.

Ketika teman-temanku main ke mall, aku lebih suka menemani bunda ke kebun organik.  (Kata bunda, uang buat ke mall dipakai buat bayar les piano)

Kata ayah dan bunda…aku berbeda dengan teman-temanku.

Aku punya tanggung jawab menjaga kesehatanku sendiri.

Kata ayah bundaku… kesehatan itu murah jika kita menjaganya dengan baik, tapi mahal sekali jika hidup seperti orang kebanyakan.

Aku tahu, aku berbeda dengan teman-temanku.

Terima kasih. Awan Cahya Aditya





Belajar dari Teguran

30 05 2010

 

Menjalani kehidupan yang normal, sehat  dan bahagia bersama orang-orang tercinta adalah sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang. Suatu ketika harapan itu terwujud  melebihi apa yang ada dalam angan dan impian.

 Indahnya dunia….itu yang terucap dari bibir.

Namun….tiba-tiba semua berubah hanya oleh satu kata yang mampu mengguncang kehidupan: KANKER.

Iya, Kanker. Penyakit yang menebarkan aroma kematian.

Jujur, mengenalnya pun enggan, apalagi menerimanya di tubuh kita. Tidak hanya menyakitkan fisik, tapi juga jiwa kita. Beribu-ribu pertanyaan yang berkecamuk dalam diri kita tiba-tiba muncul berderet dan harus segera mendapatkan jawaban. Pencarian atas jawaban yang kita harapkan terkadang berujung lelah dan ada yang lebih parah lagi, yaitu putus asa.

Dari  ruangan lain yang berbeda perspektif ada yang mengatakan ”Itu teguran dari Tuhan atas perbuatannya….saatnyalah bertaubat!”

Sedikit lebih sinis ”Dia itu dikutuk Tuhan dengan kanker!”

Yang miring juga ada, ”Dosanya segunung, syukurin tuh kena kanker!”

Yang sok tahu tapi nggak tahu, “Jangan deket-deket dia, ketularan lho!”

Apakah kalimat itu perlu kita telan mentah-mentah? Atau kita perlu mundur selangkah untuk merenungkannya? Atau….lebih ekstrim lagi, kita kesal dan marah pada orang yang mengucapkan kata-kata itu?

Sadarlah…. di pagi hari setiap kita buka jendela, udara pagi yang segar dan matahari yang  hangat sinarnya menegur kita. Bunga di taman, embun pagi yang berkilau, kicau burung nan merdu…. Mereka semua menegur kita bukan?

Teguran yang tidak menyenangkan hati terlalu sering kita persoalkan, tetapi yang kecil-kecil dan menyenangkan kita abaikan. Betapa merugi sekali jika anugerah Tuhan itu kita lewatkan begitu saja. Waktu yang terus berjalan akan berlalu dan hilang kesempatan kita untuk menyapa ”Haloooo matahari….hai…embun pagi….selamat pagi burung-burung…..”

Kembali pada kehidupan kita yang diwarnai dengan ”kanker”. Mari kita memaknainya sebagai sesuatu yang positif dan tetap indah. Meski dibalik keindahan itu ada sebaris kesulitan yang berdiri sama tingginya dengan air mata dan rasa sakit.

Dengan cara berpikir yang positif, kita akan mengiyakan bahwa Tuhan menegur kita dengan kanker. Tidak perlu berlebihan menyikapinya dengan kemarahan, karena kita belajar menjadi manusia yang lebih baik dengan teguranNya. Apa yang lebih baik?

Pola pikir, pola makan, pengendalian emosi dan kesabaran, kejujuran, keikhlasan…….dan banyak lagi yang lainnya jika kita mau jujur pada diri kita sendiri.

Sebelum terkena kanker, kita tidak akan pernah berpikir bagaimana hidup dengan kanker. Bahkan mungkin kita berlaku sama dengan orang-orang yang seringkali menegur kita dengan pilihan kata yang minus.

Sekarang, kita sadar bahwa rutinitas dan kehidupan kita yang penuh dengan hiruk pikuk dunia ternyata berperan menumbuhkan sel-sel kanker di tubuh kita. So…? kita akan belajar tentang alam yang menghadirkan berjuta pengetahuan. Kita berkenalan dengan sayuran dan buah-buahan yang segar untuk membantu tubuh kita kembali alkali, kita akan bekerja dengan Tuhan dan menyertakannya dalam setiap pengobatan yang kita tempuh….yang mungkin semua itu sedikit sekali porsi yang kita berikan sebelum berkenalan dengan kanker.

Tidak hanya itu, latihan mengenal diri sendiri pun kita dapat saat kita hidup dengan kanker. Kita akan belajar dan tahu bahwa parameter CEA (tumor marker) kita angkanya naik dan turun….sehingga kita harus mengendalikan emosi…termasuk saat mengantri  dokter, menunggu mendapatkan kamar perawatan, menghadapi perawat serta dokter yang pelit senyum dan banyak lain hal-hal kecil yang kita dapat sebagai pelajaran berharga setiap hari.

Kita pun menjadi manusia yang peduli kepada sesama dan lebih menghargai waktu untuk hal-hal yang bermanfaat.

Kita akan belajar problem solving yang tepat untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit  dengan cara yang bijak dari sudut konsumen.

Semua itu terkadang belum cukup karena pengobatan kanker tidaklah instant, melainkan lama dan panjang serta menguras biaya yang tidak sedikit. Rasa bosan dan jenuh datang dan pergi menggelitik relung hati. Sampai kapan harus begini?

Kita sering melihat di luar sana pasien kanker yang tidak mau dan tidak mampu lagi melanjutkan pengobatan karena tidak terjangkaunya harga obat, karenanya…bagi kita yang masih memiliki kesempatan lebih baik harus bersyukur karena healing proccess terus berjalan sehingga kualitas hidup dapat kita tingkatkan.

Hidup dengan kanker…..tetap indah jika kita memaknainya sebagai pelajaran yang berharga karena kita mau belajar dari teguranNya.

By Siti Aniroh

Dimuat di majalah DianA (RS. Dharmais edisi Oktober ’09)





Berdansa dengan Kanker

24 05 2010

(Pernah dimuat di rumahkanker.com)

Saya bukan seorang pemain dansa yang baik. Bahkan untuk dikatakan pandai berdansa pun sebenarnya saya termasuk kategori tidak bisa berdansa. Tapi saya suka melihat orang berdansa. Apa hubungannya dansa dengan kanker?

Saya memiliki banyak sahabat penyintas kanker. Kami sering berkumpul, diskusi dan bernyanyi serta berjoged ataupun berdansa bersama. Saya selalu terpesona dengan gerakan teman-teman saat mereka berdansa, karena saya tahu sebagian dari mereka ada yang kehilangan penglihatannya yang sebelah karena kanker otak, hanya memiliki satu payudara, ada juga yang paru-parunya sudah dipotong sebelah, dsb.  Tapi mereka tetap tampil berdansa dengan indah…………teman-teman begitu hebat di mata saya.

Apa yang sering kami diskusikan, menjadikan saya mencoba mengaitkan banyak hal tentang kanker yang saya lewati dalam perjalanan hidup saya dengan pelajaran tentang dansa.

Lihat siapa pasangan anda,

dengarkan alunan musik dengan seksama,

ayunkan langkah kaki hati-hati agar tidak cidera,

anda akan berdansa dengan indah……. seindah bangau terbang di angkasa

Itu yang melekat dalam ingatan saya tentang dansa. Hidup dengan kanker….. saya lewati bersama keluarga, pasangan hidup dan permata hati saya (Mas Iwan & Awan….My amazing partners), sahabat-sahabat sejati yang sangat peduli dengan saya, sahabat seperjuangan saya yang hidup dengan “Lupus” dan juga penyakit mematikan lainnya, serta teman-teman sesama penyintas semua yang bergabung di support group CISC, juga caregiver saya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu dengan kehidupan yang tetap indah.

Kami selalu belajar mengenali pasangan dansa kami yang bernama “kanker” dengan sikap hidup yang positif. Tak terasa waktu telah berlalu, kini memasuki tahun ke-5 saya berdansa dengan kanker. Saya tetap bahagia dan tetap berkarya. Bahkan saya lebih fokus dalam menjalani hidup ini dengan menata kembali prioritas hidup saya.

Di pagi hari….

Saya masih menyaksikan matahari terbit……..

Saya masih mampu menghirup udara segar ….

Saya masih menyentuh embun pagi….

Terima kasih Tuhan….ketika saat itu dokter dengan perhitungan medis memberikan saya vonis 3 minggu sampai 3 bulan….Engkau memiliki suratan takdir yang berbeda untuk saya.

Menjalani hidup sebagai penyintas kanker laksana berdansa. Saya belajar memahami secara detail pengetahuan tentang kanker yang melintas dengan sangat sopan (tetapi biadab ha-ha-ha…..) di sel-sel yang berkembang di tubuh saya. Saya persiapkan segala hal yang mungkin terjadi sebelum memasuki panggung untuk pementasan sebuah kehidupan yang indah…..bahkan saya mulai menyiapkan untuk kehidupan yang jauh lebih indah setelahnya…..(bukankah kematian juga awal kehidupan?)

Saya harus menyiapkan diri sebagai pemain yang baik dan profesional agar apa yang saya jalani tetap indah……..saya harus peka dengan bisikan sekecil apapun yang terdengar oleh tubuh saya, baik itu bisikan hati ataupun bisikan informasi dari luar diri saya dengan sebaik-baiknya. Saya mengasumsikan ini sebagai musik yang mengiringi pementasan dansa saya saat berpasangan dengan kanker. Saya harus tahu apakah alunan musik itu cepat, lambat, atau sangat cepat atau mungkin sangat lambat karena ini akan sangat berpengaruh terhadap ayunan langkah kaki saya di atas pentas.

Bagaimana jika musik yang berputar seringkali berubah iramanya?

Ini sering saya alami……tiba-tiba saya tak berdaya, mual, mules, demam dan sebagainya……..ha-ha-ha…….tentunya sebagai pemain dansa yang berpasangan dengan “kanker” saya tahu bagaimana mengatasinya. Setidaknya saya telah mengingat dan menempel nomor-nomor penting yang dapat saya hubungi saat-saat emergency. Saya menyimpannya mulai dari dompet, tas, buku harian, mobil, kamar mandi, ha-ha-ha lengkap deh pokoknya.

Saat musik yang mengalun iramanya “mual”, saya menyeduh teh chamomile/peppermint atau makan buah prune kering untuk menguranginya….saat kegelisahan menyusup di relung hati saya….sajadah sudah terpasang dan siap untuk dipakai bersujud. Tak hanya itu, kursi meditasi pun setia berada di sudut rumah yang paling saya sukai. Begitu pun saat persendian dan tulang di tubuh terasa ngilu dan nyeri….saya akan berbaring mengatur nafas dan melakukan relaksasi semaksimal yang mungkin dapat saya lakukan.

Saya bertanggung jawab penuh terhadap diri saya sendiri atas apa yang saya lakukan saat berdansa dengan kanker.

Tak pernah saya lewatkan, menyertakan Dia yang menghidupkan dan mematikan saya dalam setiap langkah yang saya ambil, karena saya tidak mau cidera (lagi).

Apapun itu Tuhan……… saya bersyukur memiliki kesempatan berdansa dengan kanker dan tampil dalam panggung kehidupan ini.

Life is beautiful……………





Untuk Kawanku…

17 05 2010

 

Semalam rintik hujan tersapu angin

Aku merunduk bertemu rumput basah

Rembulan malu menampakkan diri

Aku berkedip mesra padanya yang tersipu.

Terima kasih Tuhan…

Kau hadirkan seorang kawan pencinta malam.

Iya…

Malam….yang bintangnya jatuh dengan anggun

Yang menghadirkan hening dalam hati

Yang menghadirkan esok lebih awal

Dengan rajutan mimpi berselimut harapan.

Kini malam tlah bertukar pagi

Dan pagi ini….

Bersama angin kukirim do’a dari hati

Untuk kawan yang sedang berjuang dengan sarcoma.

Aku meyakini……

Malaikat-malaikat akan mengamini inginmu

Meredam takutmu

Menghapus air matamu.

Dan malam nanti….

Kutahu akan hadir penuh keindahan

Menyambut senyum manismu, kawan!

PS : Puisi ini saya persembahkan untuk seorang sahabat penyintas kanker yang akan menjalani operasi pagi ini. Ferdi, kamu pasti kuat!





Hidup Ini Masih Berarti

14 05 2010

Hidup dengan kanker bukanlah akhir dari segalanya. Banyak hal yang ternyata masih dapat saya lakukan, bahkan ketika banyak pendapat mengatakan bahwa ”kanker tidak dapat  disembuhkan”.

Tidak mungkin saya pungkiri, bahwa pada saat saya harus menerima kenyataan saya menderita kanker, hati saya sungguh hancur. Saya merasakan bahwa saya sangat terpuruk. Mungkin lebih dari itu. Pertanyaan yang muncul saat itu adalah : ”Why Me?” (Dimana pertanyaan ini tidak akan pernah muncul ketika kita menang undian berhadiah Mercedes S-Class. Ha-ha-ha)

Pada saat saya denial, stress, depresi dan sebagainya, saat itu pula saya mendapat newsletter dari motivasi-sukses.com yang isinya “You’ll never know your real potention until there’s condition that capable of conceal your true quality”. Artinya kurang lebih adalah “Anda tidak akan pernah tau potensi terbesar sebenarnya dari diri Anda hingga ada kondisi yang akan sanggup membuka fakta kemampuan terbesar diri Anda.”

Hidup dengan kanker. Fakta ini sungguh mencengangkan buat saya. Menyakitkan, menghancurkan harapan, karir dan cita-cita saya (karena itulah yang selama ini diteriakkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan kanker). Apapun itu, kondisi dimana saya berada di titik minus justru saya mampu menggali banyak hal dalam diri saya.
Ketika dokter mengatakan secara medis ada perhitungan waktu tersendiri yang harus disadari oleh seorang penyintas kanker termasuk saya, satu hal yang secara sadar selalu saya afirmasikan dalam diri saya adalah ”Saya harus mengisi sisa waktu hidup saya sebaik mungkin.”

Membayangkan bahwa saya mampu melewati pengobatan konvensional dengan segala konsekwensinya sudah sangat berat bagi saya. Tapi ternyata dengan penerimaan diri dan kesadaran yang tinggi bahwa kanker bukan penghalang untuk tetap hidup sebagai manusia normal , membuat saya mampu melewati beratnya mastektomi dan 10 kali kemoterapi serta melakukan satu hal yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam benak saya.

Buku ”Nobody Happy with Cancer, BE BRAVE & SMART” yang saya tulis dengan sepenuh hati membuktikan bahwa saya masih bisa berkarya. Setidaknya saya mampu menyuarakan isi hati saya selama menjalani pengobatan medis konvensional.

Adalah sangat mengharukan dan membuat saya sering menitikkan air mata ketika banyak telfon dan email yang masuk untuk bertukar pengalaman dan berbagi cerita tentang bagaimana berkompromi dengan kanker.

Apa yang terpenting dari semua itu ?
Ternyata saya masih berarti untuk orang lain……..

Bagaimana hidup dengan kanker?

Selain penerimaan diri & kesadaran bahwa saya hidup dengan kanker dan saya memilih sebuah pengobatan tertentu, informasi tentang penyakit yang kita derita serta penanganan dan konsekwensi apapun termasuk yang terburuk adalah sesuatu yang juga penting untuk kita ketahui. Ini hal yang sulit bagi saya, tapi saya selalu mencoba menggali untuk diri saya sendiri. Kepercayaan dan keyakinan diri serta kehidupan spiritual yang tinggi pun memiliki porsi yang cukup besar dalam melewati waktu demi waktu sebagai penyintas kanker.

Tidak hanya itu, dukungan keluarga & orang-orang terdekat serta bergabung di komunitas (support group) adalah komponen yang sama penting, dimana optimisme yang timbul dan tenggelam saya rasakan lebih mudah teratasi ketika saya bergabung di support group, khususnya di Cancer Information & Support Center.
Saya menyadari, tidak selamanya saya bisa menerima orang-orang terdekat saya dengan baik, karenanya saya butuh teman senasib.

Berdasarkan pengalaman saya, mempelajari pentingnya nutrisi dan menerapkannya untuk tubuh kita juga sangat membantu menjaga stamina tubuh. Apa yang saya makan dan minum, semua terekam dalam catatan kecil saya, sehingga pada kondisi tertentu yang tidak terlaluu baik saya akan mampu menetralisirnya. Kelihatannya ini rumit, tetapi saya terbiasa melakukannya.

Banyak pelajaran berharga yang saya petik sejak saya menjadi penyintas kanker. Kondisi teman-teman yang sangat bervariasi (mulai dari stadium awal sampai dengan stadium sangat lanjut) menjadikan saya dan mereka berinteraksi layaknya saudara. Kami sangat peduli satu sama lain. Ikatan kami adalah perasaan senasib sebagai ”penyintas kanker”.

Ini luar biasa indah….dan saya menemukannya justru setelah saya menyandang status sebagai penyintas kanker.

Ketika saya mulai aktif sebagai relawan kanker untuk awam, saya seringkali mendapat pertanyaan tentang pilihan ke dokter atau ke altenatif? Saya hanya menegaskan bahwa apapun pilihan yang ditempuh, yang terpenting adalah dilakukan secara sadar dan tahu secara detail tentang konsekwensi atas pilihannya sendiri. Mengapa? Tidak semua pengobatan medis konvensional berhasil menyembuhkan, dan tidak semua pengobatan alternatif gagal dan mematikan. Banyak pengobatan alternatif yang tidak bertanggung jawab, tetapi banyak juga rumah sakit dan dokter yang tidak peduli dengan kewajiban dan tanggung jawab mereka, terlebih peduli dengan hak-hak pasien. Kembali kepada diri kita bahwa manusia adalah makhluk Tuhan. Tuhan Maha Penyembuh. Dokter ataupun Pengobat Alternatif adalah perantara yang juga memiliki kekurangan dan kelebihan. Karenanya saya sangat menekankan akan PENTINGNYA INFORMASI agar kita tidak salah melangkah. Keputusan untuk memilih pengobatan yang diambil secara sadar akan memudahkan kita untuk melangkah menuju hidup yang lebih berkualitas.

Apa yang saya tuliskan di atas memang sangat tidak mudah untuk dilakukan. Saya pun tidak serta merta mampu menerapkannya untuk diri saya sendiri dalam sekejap mata. Terkadang ketakutan kebih dominan dan lebih sering menghampiri perasaan saya, tetapi saya berusaha untuk selalu menetralisir dengan berbagai cara.
Meditasi yang masih sering saya lakukan sangat membantu saya mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan menghitung nikmatNya yang teramat sangat banyak sudah saya terima dibandingkan dengan ujianNya, menjadikan saya selalu bersyukur dengan kondisi apapun yang saya terima saat ini.

Lebih ekstrem lagi, saya tidak meminta kesembuhan pada Tuhan, saya hanya meminta ”Jika saya masih berarti dan mampu membawa kebaikan dalam hidup saya, panjangkan usia saya Ya Allah, limpahkan nikmat sehat jasmani dan ruhani, namun jika tidak….tunjukkan jalan yang lurus pada saya untuk kembali padaMu.”

Saya hanya ingin menegaskan kembali bahwa dengan status sebagai penyintas kanker bukan berarti harus terpuruk dan menyesali nasib serta pasrah tanpa diikuti usaha. Tetap bersyukur dan berpikir positif serta tetap berprestasi & berkarya agar hidup kita tetap berarti….agar kita lebih mensyukuri nikmatnya sehat….amin.

PS : Tulisan ini pernah dimuat di majalah bulanan ”Diana” RS. Dharmais edisi 02, Agustus 2009.





Thanks a lot !

12 05 2010

Berbicara tentang pertemanan, kita akan mendapatkan banyak tema yang mengasyikkan untuk dijadikan cerita yang menarik. Tulisan ini menceritakan seorang teman yang sudah sedekat sahabat bahkan saudara. Namun kami belum pernah bertemu secara fisik. Yang pasti, kami sama-sama penyintas kanker.

Saya tahu persis bahwa bayang-bayang maut selalu diteriakkan oleh banyak pihak yang berkepentingan dengan urusan kanker. Benar atau tidak, kenyataannya kebanyakan dari kami menjadi pesimis dan berujung maut dalam berjuang melawan kanker.

Saya menemui sahabat yang satu ini kurang lebih tujuh bulan yang lalu  juga dalam kondisi crisis blast. Istilah awamnya menjelang ajal. Bahasa bijaknya para ahli medis “Memang begitu tahapannya….banyak-banyak berdo’a saja, minta yang terbaik sama Tuhan”. Sungguh menyentil telinga saya.

Dalam kondisi apapun, HIDUP INI MASIH LAYAK DIPERJUANGKAN.

Pendek cerita, sahabat saya yang sudah dibilang tinggal menunggu waktu itu tenyata masih hidup hingga saat ini. Kami sering bertengkar, berdiskusi, bercanda dan juga saling memaksakan kehendak untuk sebuah kebaikan. Termasuk saya memaksanya untuk enema kopi dan bertemu dengan Pakde Omri Samosir. Ha-ha ha ha. Dia penderita leukimia yang survive lebih dari 5 tahun. Dia sudah mulai membangun bisnis baru untuk membantu isteri setianya yang selama ini sangat luar biasa berjuang bersamanya. Dia juga yang menghadiahi saya blog ini (karena tidak mempan memaksa saya membuat blog, memang!).

Dia adalah M. Rosyid.

Saya yakin banyak diantara teman penyintas kanker yang mengenalnya dengan nama beken Oce Kojiro.

Saya tidak mampu membalas semua kebaikannya pada saya kecuali dengan seucap kata “Terima Kasih Kang Oce!”

Untuk semua teman penyintas kanker dan juga keluarganya, saya juga mengucapkan terima kasih atas terjalinnya hubungan baik selama ini.

Thanks a lot !!!





Cancer Club CISC Yogyakarta

10 05 2010

Yogyakarta. Saya memiliki ikatan yang begitu besar dengan kota ini. Kepindahan kami ke sini bukanlah sebuah keputusan yang salah. Suasana kampung yang jauh dari hiruk pikuk dan kemacetan telah membebaskan saya dari sebagian persoalan yang saya hadapi setelah lebih dari sepuluh tahun bercokol di kota metropolitan.

Slogan ”Yogyakarta Berhati Nyaman” sungguh menyentuh ritme kehidupan saya saat ini, meski saya pun merasakan bahwa Yogya sudah tidak senyaman belasan tahun yang lalu saat saya dikirim oleh orangtua untuk sekolah di sini. Apapun itu, paling tidak saat ini keluarga kami sudah tidak tergantung pada air conditioner dan water treatment. Polusi di sini tidak setinggi Jakarta. Di pagi hari, saya masih bersentuhan dengan embun pagi dan kabut. Tak hanya itu, burung-burung, kupu-kupu bahkan lebah masih berkeliaran di sekitar rumah kami. Di kebun kecil belakang rumah kontrakan kami, Awan memelihara 2 ekor ayam. Saya pun masih menikmati menanam kemangi, aneka macam sirih, cabe, pisang, mangga dan juga pepaya. Tak ketinggalan juga ubi jalar yang rebusan daunnya sangat bermanfaat untuk kesehatan. Tak kalah serunya jika malam hari tiba, suara gemericik sungai dekat kami tinggal terdengar merdu, terlebih saat jangkrik dan kodok sawah juga ikut bersahutan menyanyikan lagu kehidupan.

Oh indahnya!  

 Saya sangat terkesiap ketika ada seorang teman yang bertanya, ”Mana kiprahnya CISC Yogya??Nggak kedengeran tuh!”

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ijinkan saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada CISC yang setelah sekian tahun mengijinkan saya mengatasnamakan diri menjadi bagian dari CISC.

Genap 9(sembilan) bulan saya menginjakkan kaki di Yogya. Usia seorang ibu yang mengandung tentunya sudah siap untuk melahirkan di usia tersebut. Apa yang saya lakukan selama 9 bulan? Berdiam diri? Menikmati nyamannya Yogya? Lupa bahwa di pundak saya ada nama besar dan tanggung jawab yang besar dari organisasi nirlaba bernama CISC?

Jawabannya TIDAK.

Sejak Januari 2010, pintu rumah kontrakan kami terbuka untuk sahabat dan keluarga penyintas kanker. Saya mempersilahkan mereka datang selepas maghrib, mengingat pagi hingga sore hari saya mengurus Awan sekolah, menjemputnya, mengantar les dsb.dsb.

Mereka bertanya banyak bagaimana berdamai kanker.Kadang, jam di ruang tamu kami jarumnya menunjukkan jam 11 malam dan mereka belum berpamitan juga he he he. Ini saya namakan SMALL support group. Saya tidak bicara tentang penyakit layaknya dokter Jakarta yang hadir di tengah-tengah support group. Saya hanya meredam gejolak perasaan mereka karena baru berkenalan dengan kanker.

Di sela-sela jam antar jemput Awan, saya pun menyempatkan mengunjungi beberapa pasien yang saya kenal dan sedang menjalani treatment.   

Tidak hanya itu. Pulsa telfon saya pun meledak, banyaknya sms yang masuk sekedar bertanya yang menurut saya itu-itu saja. Tapi apa saya harus mendiamkannya? Oh tidak. Sms yang berbau kebingungan tak jarang berubah jadi plesetan dan guyon di antara kami.

Hobby saya menulis masih saya tuangkan dalam selembar kertas yang kemudian saya fotocopy dan saya bagikan pada siapa saja yang saya temui.Jika tinta printer saya habis, tulisan tangan saya cukup narsis untuk tetap saya publish. Sederhana. Tamanya tentang bahaya rokok, bahaya pemakaian ponsel, bahaya minuman bersoda, deteksi dini, bahaya sex bebas, pentingnya makanan organik, dsb.dsb.

Inbox email saya pun selalu berderet pertanyaan, bahkan banyak sekali pertanyaan yang membuat saya sungguh berarti buat sebagian kecil orang.

Beberapa kali saya memberikan training kesehatan di beberapa tempat. Dengan senyum keikhlasan mereka mengoleh-olehi saya buah-buahan segar.

Memang, yang saya lakoni adalah hal-hal yang sangat kecil dan tak terlihat mata. Remeh-temeh dan sepele. Tapi sungguh saya belajar sangat banyak dari yang sepele itu. Saya belajar banyak sekali jenis kanker hingga filsafat. So?

Mungkin yang saya tuliskan ini mampu menjawab pertanyaan seorang CISC-er.

Pertanyaan selanjutnya adalah : Mengapa tidak menggandeng rumah sakit ?

 Jika saya menjawab secara pribadi. ”Untuk apa?” ha ha ha. Bukan saya meremehkan peran rumah sakit, bukan juga saya membenci rumah sakit berikut atributnya, bukan juga saya menganut aliran pengobatan alternatif. BUKAN.

CISC adalah kependekan dari Cancer Information & Support Center. Pusat informasi. Termasuk saya bingung menjawab pertanyaan beberapa teman tentang ”Mengapa obat leukimia sulit didapat? Mengapa obat ablasi untuk kaker tyroid nggak kunjung datang?” Dan itu semua tidak terjawab hingga saat ini. Sementara teman-teman terlanjur basah melakukan treatment medis harus berhenti di tengah jalan. Lalu industri kesehatan mengatakan bahwa pengobatan dapat ditolerir hingga jangka waktu sekian, sekian dan sekian. Omong kosong macam apa?

Sungguh dilematis ketika saya harus berteriak  ”Ayo pasien kita berobat di jalur yang benar! Jangan menunda-nunda pengobatan!” Sementara kenyataan yang saya jumpai sungguh mengenaskan. Dan saya tidak memiliki jawaban yang pas ketika seorang penyintas kanker mengatakan begini :”Tau obatnya gak jelas ketersediaannya,mendingan nggak berobat mba, nyesel saya!”  

Saya menitikkan air mata saat mereka begitu panik menanyakan pertanyaan yang tak mampu saya jawab. Sungguh. 

Saya tidak mau menutup mata dan telinga bahwa kenyataan yang selama ini tidak pernah terungkap bahwa urutan kematian dari yang tertinggi adalah :

Jantung, Kanker, dan Kesalahan penanganan medis

Saya tak ingin CISC Yogya ditunggangi oleh siapapun. Termasuk rumah sakit. Apa maksud statement saya ini?

Saya berdiri di tengah barisan pasien kanker dengan jutaan persoalan di baliknya. Pasien kanker di daerah (beruntung masih di Pulau Jawa).Mulai dari vonis, airmata, depresi, frustasi, gengsi, financial, kelangkaan obat, kematian, rasa sakit, minimnya fasilitas rumah sakit, minimnya informasi dan segudang title yang mengenaskan lainnya. Saya pun mengalami dan merasakan sendiri apa yang teman-teman rasakan. Saya pun lelah menyandang gelar penyintas kanker dengan segala atributnya. Ini nyata. Sementara, pihak rumah sakit menawarkan seratus buah kaos untuk kita pakai ramai-ramai dan berteriak ”Indonesia Peduli Kanker” atas nama mereka?? Tidak hanya itu. Perusahaan obat menawari obat tidak laku alias obat coba-coba untuk dipakai dengan gratis separo dengan alasan itu program CSR(Corporate Social Responcibility)???

Pemain multilevel marketing juga ikut nimbrung seolah-olah mereka ahli kanker yang hebat!!!  

Maaf. Maaf beribu maaf. Terlalu pahit air ludah yang harus saya telan. Air mata saya masih menetes ketika teman-teman penyintas kanker berpulang, meski umur pertemanan kami sangat pendek. Ikatan kami sangat kuat. Saya merasakan itu. Saat ada teman yang berpulang, keluarga mereka lantas menjadi bagian dari kami.

Permasalahan di dataran pasien sungguh masih menjadi pekerjaan rumah yang berat buat saya. Saya pun menyadari bahwa tangan dan kaki saya sangat tidak mungkin menyelesaikannya sendiri.

Ada lagi yang disodorkan pada saya.”Cari teman untuk jalan bareng di CISC!”

Tidak semua orang tahu, CISC tidak ada uangnya. Kami bukan kaum berduit. Jangankan uang bensin, pulsa telpon saya pun tidak diganti. Lantas selama ini saya wira-wiri pakai uang siapa? Ini kalau kita bicara rupiah. Saya meyakini uang Tuhan yang saya pakai, makanya unlimited dan tak pernah habis. Tuhan selalu mengganti berapapun rupiah yang saya keluarkan. Terkadang gantinya jauh lebih banyak dari yang saya keluarkan. Sumpah ini nyata. Dan untuk mendapatkan teman yang memiliki keyakinan yang sama dengan saya tidaklah mudah dan  tidak banyak.

Yang saya tuliskan adalah bagian dari perjalanan hidup saya dalam menimba ilmu “berbagi”, khususnya sesama penyintas kanker. Berbagi cerita, tawa dan juga air mata. Saya meyakini, berangkat dengan sebuah komitmen yang sama di antara beberapa teman, Komunitas Kanker Yogya  nantinya benar-benar menjadi rumah kedua bagi para penyintas kanker dan keluarganya, amin.

Jika ada yang ingin bergabung dengan kami, silahkan hubungi :

CANCER CLUB CISC YOGYA , e-mail : cancerclubcisc@gmail.com atau  08128949434 (Ani) atau 08175419487 (Andre Laksono)