Lukisan Tuhan Yang Indah

25 06 2010

 

Pernahkah kita menghitung nikmat yang diberikan Tuhan pada kita? Mulai dari nafas sebagai penanda hidup kita……? Saya meyakini hampir semua dari kita tidak ada yang mampu menghitungnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah untuk apa kita menghitung nikmatNya? Jawabannya adalah untuk membandingkan dengan seberapa banyak kita mengeluh atas pemberianNya.

Memasuki dunia kanker dalam kehidupan kita yang terus berjalan mau tidak mau menempatkan kita pada posisi yang berbeda. Mengapa? Dulu kita sehat, sekarang? Ada yang berbeda. Sedikit atau banyaknya perbedaan itu tergantung bagaimana kita menyikapi.

Setiap selesai mandi, saya menghadap ke cermin sebelum mengenakan pakaian lengkap. Sedikit dan pelan……terus menarik nafas panjang….terucap syukur pada Tuhan, meski payudara saya tinggal satu……kedua mata saya masih melihat, lubang hidung saya masih mencium….telinga saya masih mendengar, mulut saya masih berbicara, makan dan minum. Kedua tangan saya masih utuh…..kedua kaki saya masih tegak berjalan……

Apa yang harus saya keluhkan pada Tuhan?

Ternyata cerita saya di atas tidak cukup untuk menyemangati seorang teman seperjuangan saya yang kesulitan berjalan karena kakinya terserang ”sarcoma” dan memaksanya menggunakan tongkat. Sungguh menyedihkan ketika dia mengatakan pada saya ”Siapa yang melihat payudaramu jika kamu tidak bercerita? Sementara aku? Semua orang melihat cacat di tubuhku. Aku tidak bisa lagi berjalan apalagi bermain bola! Semua pandangan mata menatapku dengan iba. Aku malu Aniiiiii!” Teman saya histeris.

Lagi-lagi saya hanya bisa menarik nafas panjang…….dan melepaskannya pelan…sangat pelan. Saya menatap kedua matanya yang memerah menahan tangis dan marah. Saya memeluknya sangat erat……saya berbisik padanya ”Meski kamu tidak bisa jalan…….bukankah kamu masih bisa bernafas?” Dia melepaskan pelukan dan berkata lirih. ”Tapi aku malu dengan luka dan cacat di tubuhku Aniiiiiiiiiiiiii! Lihatlah!!! Aku cacat!!!!” Kami berdua menangis.

Saya masih menawar lagi ”Tapi kamu kan sudah pernah merasakan tubuh yang utuh dan normal?!  Bagaimana dengan mereka yang cacat sejak lahir?” Dia menimpali dengan suara yang sangat keras dan penuh kemarahan ”Itu urusan mereka, bukan urusanku!!!”

Saya kehabisan akal untuk merangkai kata-kata bijak. Fisik saya pun terasa lelah. Mengendarai mobil sendiri sekitar 30 km dari rumah kontrakan menuju ke Bantul sebenarnya pekerjaan yang biasa, tapi karena kali ini batin saya juga nelangsa, semua jadi terasa luar biasa. Ada sedikit rasa sesal di hati…mengapa saya begitu memaksakan diri menemuinya, padahal keluarganya sendiri sudah mengingatkan saya untuk siap-siap di tolak (bahkan dengan sikap kasarnya).

Batin ini pun mulai menghibur diri…ya sudahlah, dia masih denial. Saya yang mestinya maklum. Alhamdulillah saya memiliki ikatan dan toleransi yang begitu kuat dengan sesama Penyintas Kanker. Karena saya juga pernah merasakan galaunya hati menerima kanker di tubuh saya.

Tak sengaja tas kecil yang saya bawa terbuka resletingnya dan keluarlah buku kecil ”Hee Ah Lee The Four Fingerest Pianist” yang merupakan kisah nyata seorang pianis kelas dunia tanpa anggota tubuh yang lengkap tapi begitu pandai menunjukkan pada dunia kelebihan yang dimiliki di balik kekurangannya. Tanpa jari yang lengkap, dia sangat pandai memainkan piano. Saya tinggalkan buku itu untuknya karena saya tidak mau berlama-lama dengan kesedihan dan pesimisme yang dirasakannya.

Sungguh mengejutkan. Esok harinya dia menelfon ke handphone saya……berkali-kali! Saya masih belum ingin bicara dengan dia  (takut salah) karenanya tidak saya angkat. Ada puluhan sms darinya masuk, saya pun enggan membacanya.  Saya tidak ingin bersedih dengan kondisinya yang masih labil.

Terakhir (sebagai usahanya menghubungi saya)……dia mengirim email yang isinya begitu menyentuh…….

Ani, aku marah, kecewa dan sakit hati. Aku tidak tahu harus bagaimana mengekspresikan kekesalan yang ada. Aku merasakan Tuhan sangat tidak adil terhadap kehidupanku. Aku merasakan begitu hancur masa depanku. Aku tidak berarti untuk diriku sendiri, apalagi untuk orang lain. ITU KEMARIN.

SEKARANG, saat ini…….aku ingin mengatakan padamu, bahwa lukisan Tuhan begitu indah mewarnai hidupku. Please…….ajari aku berdiri dan berjalan serta berlari dengan kaki yang berbeda! Aku butuh teman berbagi yang mengerti, bukan yang mengejarku dengan obat-obatan yang merusak tubuhku, please…..aku tunggu kamu Ani! Aku mau belajar menutup mata dan telingaku dari ”apa kata orang”. Ani….please, Aku mau sepertimu….menemui orang senasib yang tak kamu kenal sekalipun. Aku mau belajar menerima….. Aku rela jika kamu mau memarahiku! Please, balaslah perlakuanku yang kasar kepadamu!”

Terima kasih Tuhan………….seorang teman memiliki setitik harapan. Ini yang terpenting dari semua aspek yang berperan dalam menghadapi hidup bersama kanker. Meski dalam perjalanan seringkali harapan itu timbul dan tenggelam. Menerima bahwa tubuh ini sekarang berbeda dan tetap mau bertahan untuk tidak lebih buruk lagi adalah satu poin yang sangat berperan. Pengobatan dan atau tindakan medis lainnya pelan tapi pasti akan dipelajari oleh seseorang untuk mempertahankan kualitas hidupnya.

Kita butuh waktu, butuh teman untuk berbagi…butuh (bukan wajib) berdo’a dan bersyukur. Ini semua saya dapatkan ketika saya bergabung di sebuah komunitas yang bernama Cancer Information & Support Center(CISC).

Masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengisi sisa hidup kita. Lukisan Tuhan tetap indah dan paling sempurna. Mari kita syukuri.

Siti Aniroh CISC-Yogya : 081289249434 (silahkan sms)